PERJUANGAN KH. RUHIAT DI TASIKMALAYA MASA PENJAJAHAN BELANDA SAMPAI AWAL KEMERDEKAAN (1930-1949)

KH. Ruhiat adalah seorang kiai yang memiliki peran sentral dalam masyarakat Islam di Tasikmalaya. Sebagai seorang kiai, ia tidak hanya dikenal karena kedalaman ilmu agamanya, tetapi juga karena akhlaknya yang mulia dan kemampuannya dalam membimbing umat. Dalam masyarakat Islam di Indonesia, khususnya di daerah Sunda, kiai atau ajengan seperti K.H. Ruhiat sering dianggap sebagai tokoh kewahyuan yang mampu menjelaskan teologi yang kompleks dengan cara yang mudah dipahami oleh masyarakat, terutama para petani dan kaum awam. Kehadiran kiai seperti K.H. Ruhiat memberikan panduan moral dan spiritual yang sangat penting di tengah-tengah kehidupan sehari-hari masyarakat, menjadikan mereka sebagai sosok yang dihormati dan diikuti.

Kontribusi K.H. Ruhiat terhadap pendidikan Islam terlihat jelas melalui pendirian dan pengembangan Pondok Pesantren Cipasung. Pada tahun 1931, K.H. Ruhiat mendirikan pesantren ini dengan tujuan untuk menyebarkan ilmu agama Islam dan membina moral umat. Pesantren ini dimulai dengan hanya 40 santri, namun berkat dedikasi dan kepemimpinan K.H. Ruhiat, jumlah santri terus bertambah. K.H. Ruhiat tidak hanya mengajarkan ilmu agama, tetapi juga menekankan pentingnya pendidikan formal. Beliau menyadari bahwa untuk menghadapi tantangan zaman, santri harus memiliki pengetahuan yang luas, termasuk dalam bidang ilmu pengetahuan umum.

K.H. Ruhiat adalah seorang kiai yang berpikiran progresif. Meskipun beliau sangat memegang teguh tradisi, K.H. Ruhiat juga melihat pentingnya adaptasi dengan perubahan zaman. Beliau berpendapat bahwa santri harus menguasai ilmu pengetahuan umum selain ilmu agama, karena kedua aspek ini saling melengkapi dalam menghadapi tantangan modernitas. Pandangan ini tercermin dalam pendirian Madrasah Ibtidaiyah, Sekolah Menengah Pertama Islam (SMPI), dan kemudian Sekolah Menengah Atas Islam (SMAI) serta Institut Agama Islam Cipasung (IAIC). Melalui institusi-institusi ini, K.H. Ruhiat memberikan kontribusi yang signifikan dalam memajukan pendidikan Islam yang holistik, yang tidak hanya berfokus pada aspek spiritual tetapi juga intelektual.

K.H. Ruhiat memulai upaya mendirikan Pondok Pesantren Cipasung pada tahun 1931 di Desa Cipakat, Kecamatan Singaparna, Kabupaten Tasikmalaya. Dengan hanya 40 santri pada awalnya, K.H. Ruhiat bertekad untuk menciptakan lembaga pendidikan yang mampu memberikan pendidikan agama yang mendalam sekaligus mempersiapkan generasi muda menghadapi tantangan zaman. Dalam kurikulum pesantren, ia tidak hanya fokus pada pengajaran kitab kuning dan ilmu agama, tetapi juga menekankan pentingnya keterampilan dan pengetahuan praktis yang bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari. Selain itu, pesantren ini juga mengadakan pengajian sore khusus bagi ibu-ibu dan pengajian rutin untuk alim ulama, menunjukkan komitmen K.H. Ruhiat untuk memberdayakan seluruh lapisan masyarakat.

Selama masa penjajahan Belanda dan Jepang, K.H. Ruhiat menghadapi berbagai tantangan dalam mengembangkan pesantrennya. Mendirikan dan mengembangkan pesantren dalam situasi yang penuh tekanan dari penjajah bukanlah tugas yang mudah. Selain harus berhadapan dengan kebijakan penjajah yang represif, K.H. Ruhiat juga harus menghadapi ketidakpahaman dan kurangnya dukungan dari sebagian masyarakat lokal yang belum sepenuhnya menerima pendidikan Islam. Namun, dengan semangat dan tekad yang kuat, K.H. Ruhiat terus mengembangkan pesantren ini. Beliau melakukan berbagai strategi untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas pendidikan di Cipasung, termasuk dengan menjalin hubungan baik dengan ulama-ulama lain dan masyarakat sekitar untuk mendapatkan dukungan moral dan material.

Perjuangan K.H. Ruhiat dalam mendirikan dan mengembangkan Pondok Pesantren Cipasung membawa dampak yang signifikan bagi pendidikan Islam di Indonesia, khususnya di Tasikmalaya. Pondok Pesantren Cipasung yang awalnya dimulai dengan hanya 40 santri, berkembang menjadi salah satu pusat pendidikan Islam yang penting di wilayah tersebut. K.H. Ruhiat menekankan pentingnya memadukan ilmu agama dengan ilmu pengetahuan umum, sehingga lulusannya tidak hanya menguasai ajaran agama tetapi juga siap menghadapi tantangan zaman. Hal ini membuat Pondok Pesantren Cipasung menjadi contoh bagi banyak pesantren lain di Indonesia yang kemudian mengadopsi pendekatan pendidikan yang holistik ini.

Salah satu dampak besar dari perjuangan K.H. Ruhiat adalah meningkatnya kesadaran dan apresiasi masyarakat terhadap pentingnya pendidikan. Dengan mendirikan berbagai lembaga pendidikan formal seperti Madrasah Ibtidaiyah, Sekolah Menengah Pertama Islam (SMPI), Sekolah Menengah Atas Islam (SMAI), dan Institut Agama Islam Cipasung (IAIC), K.H. Ruhiat memberikan akses pendidikan yang lebih luas kepada masyarakat sekitar. Institusi-institusi ini tidak hanya mencetak lulusan yang berpengetahuan luas, tetapi juga membentuk generasi yang berakhlak mulia dan berkomitmen terhadap nilai-nilai keislaman. Selain itu, para lulusan dari pesantren dan sekolah-sekolah tersebut banyak yang kemudian menjadi tokoh penting di berbagai bidang, baik di tingkat lokal maupun nasional, yang terus melanjutkan perjuangan K.H. Ruhiat dalam memajukan pendidikan dan agama.

Warisan K.H. Ruhiat juga tercermin dalam keberlanjutan pesantrennya yang kini diteruskan oleh generasi berikutnya. Anak dan cucu K.H. Ruhiat melanjutkan perjuangan beliau dengan mengembangkan Pondok Pesantren Cipasung dan lembaga-lembaga pendidikan lainnya. K.H. Ilyas Ruhiat, salah satu putranya, menjadi tokoh penting dalam melanjutkan visi dan misi K.H. Ruhiat, memastikan bahwa pesantren tetap relevan dan adaptif terhadap perubahan zaman. Peran aktif keluarga K.H. Ruhiat dalam mengelola dan mengembangkan pesantren ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh dan inspirasi K.H. Ruhiat, yang terus hidup dan berkembang meskipun beliau telah tiada.

Lebih jauh lagi, kontribusi K.H. Ruhiat dalam bidang sosial dan keagamaan juga meninggalkan jejak yang mendalam. Keterlibatannya dalam organisasi Nahdlatul Ulama (NU) dan aktivitas dakwahnya di berbagai daerah menunjukkan komitmennya dalam memperjuangkan nilai-nilai Islam dan kemerdekaan Indonesia. K.H. Ruhiat tidak hanya menjadi panutan dalam bidang pendidikan, tetapi juga sebagai pemimpin yang berani menghadapi tantangan dan tekanan dari penjajah. Semangat nasionalisme dan keagamaan yang ia tanamkan tetap hidup dalam hati masyarakat Tasikmalaya dan sekitarnya, menjadi inspirasi bagi banyak orang dalam perjuangan mereka untuk membangun bangsa yang lebih baik. Dengan demikian, warisan K.H. Ruhiat tidak hanya tercermin dalam fisik lembaga-lembaga pendidikan yang didirikannya, tetapi juga dalam semangat dan nilai-nilai yang ia ajarkan dan wariskan kepada generasi berikutnya.


Referensi

Ananda Muhammad Firdaus. (2020). Mengenal Kiai Ilyas Ruhiat yang Karismatik dari Cipasung. Diakses pada 20 Januari 2020. Dari https://www.ayotasik.com/explore-tasik/pr-33849086/Mengenal-Kiai-Ilyas-Ruhiat-yang-Karismatik-dari-Cipasung

Agung Sasongko. (2018). Mengenang Perjuangan Kiai Ruhiat di Cipasung. Diakses pada 29 Agustus 2018. dari https://khazanah.republika.co.id/berita/pe7e91313/mengenang-perjuangan-kiai-ruhiat-di-cipasung

Abun Bunyamin Ruhiat. (2022). Riwayat Perjuangan Abah Ruhiat Cipasung. Diakses pada 11 November 2022. dari https://jabar.nu.or.id/tokoh/riwayat-perjuangan-abah-ruhiat-cipasung-OnaUc

Ahmad Fikri Nabil. (2016). Sejarah Singkat Perjuangan KH. Ilyas Ruhiat Dalam Membina Pospes Cipasung. Diakses pada 29                 Januari 2016. Dari https://abatasacomunityy.blogspot.com/2016/01/sejarah-singkat-perjuangan-kh-ilyas.html

Budi. (2023). Biografi KH. Ruhiat, Pendiri Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya. Diakses pada 28 November 2023. Dari https://www.laduni.id/post/read/58605/biografi-kh-ruhiat-pendiri-pondok-pesantren-cipasung-tasikmalaya.html

PERJUANGAN KH. ZAINAL MUSTHAFA DALAM MEMPERJUANGKAN KEMERDEKAAN INDONESIA DI TASIKMALAYA TAHUN 1927-1944

KH. Zainal Musthafa merupakan seorang ulama dan pahlawan nasional Indonesia yang sangat dihormati. Beliau lahir di Bageur, Cimerah, Singaparna, Tasikmalaya, pada tanggal 1 Januari 1899 dengan nama Umri, yang kemudian berganti nama menjadi Hudaemi.  Sejak kecil, beliau menunjukkan kecerdasan dan kegemaran mendalami ilmu agama. Beliau juga dikenal sebagai pendiri Pesantren Sukamanah, Tasikmalaya, dan pelopor perlawanan santri di Jawa Barat. KH. Zainal Musthafa dibesarkan di lingkungan pesantren. Beliau bukan seorang keturunan Kiai, orang tuanya hanya orang biasa. Ibunya bernama Ratmah, dan ayahnya bernama Nawafi. Mereka berdua petani, menjalani kehidupan yang sederhana. Satu-satunya sekolah yang diikuti KH Zainal Musthafa adalah Sekolah Rakyat (SR). Beliau kemudian membuat keputusan untuk membantu orang tuanya dalam menggembalakan bebek di sawah sebelum kemudian mendaftar di sebuah pesantren.

Di beberapa pondok pesantren di Jawa Barat, ia mencari pendidikan Islam. Beliau melanjutkan pendidikannya di berbagai pesantren ternama di Jawa Barat. Pada tahun 1919, di usia yang masih muda, KH. Zainal Musthafa mendirikan Pesantren Sukamanah di kampung halamannya. Pesantren ini berkembang pesat dan menjadi salah satu pusat pendidikan Islam ternama di Jawa Barat. Beliau tidak hanya mengajar ilmu agama, tetapi juga menanamkan semangat nasionalisme dan kemerdekaan kepada para santrinya. Bahkan setelah belajar di bawah banyak kiai dan diberbagai pesantren, Zainal Musthafa bukanlah orang yang bisa berpuas diri.

Pada sekitar tahun 1922-1927, beliau membuat keputusan untuk menyelesaikan pendidikannya di Mekkah. Pada tahun 1927, beliau menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Kemudian kembalinya ke Indonesia, beliau mulai aktif dalam kegiatan dakwah dan perjuangan melawan penjajah. Dari situlah gelar Kiai Haji diperoleh, termasuk nama yang melekat sampai saat ini yaitu KH. Zainal Musthafa. Beliau menentang keras kolonialisme Belanda dan Jepang, dan menyerukan perlawanan rakyat untuk meraih kemerdekaan. Pada tahun 1941, beliau memimpin perlawanan rakyat Singaparna melawan penjajah Jepang, yang dikenal sebagai Peristiwa Singaparna.

Peran K.H. Zainal Musthafa dalam Kemerdekaaan Indonesia

K.H. Zainal Mustafa mendirikan Pesantren Sukamanah di Cipatujang, Tasikmalaya pada tahun 1927. Pesantren ini menjadi pusat pendidikan Islam dan pengembangan semangat nasionalisme di Tasikmalaya. Beliau menggabungkan pendidikan agama dengan pendidikan umum, menanamkan nilai-nilai kebangsaan dan kemerdekaan kepada para santrinya. Pada tahun 1927-1944 K.H. Zainal Mustafa aktif dalam berbagai organisasi pergerakan nasional, seperti Sarekat Islam (SI) dan Persatuan Umat Islam (PUI). Beliau menggalang persatuan umat Islam dan rakyat Tasikmalaya untuk melawan penjajahan Belanda. Beliau berceramah dan berkhutbah untuk membangkitkan semangat juang rakyat dan menentang kebijakan kolonial.

Saat penjajahan Jepang, K.H. Zainal Musthafa memimpin perlawanan rakyat Tasikmalaya melawan penjajah. Beliau menentang kebijakan Seikerei yang mewajibkan rakyat Indonesia untuk menyembah Kaisar Jepang. Pada tanggal 25 Februari 1943, beliau memimpin Peristiwa Singaparna, perlawanan rakyat bersenjata melawan Jepang. Meskipun gagal, perlawanan ini membangkitkan semangat juang rakyat dan menjadi simbol perlawanan di Jawa Barat. K.H. Zainal Musthafa adalah sosok pahlawan yang dedikasi dan pengorbanannya untuk kemerdekaan Indonesia di Tasikmalaya tidak ternilai. Beliau adalah pemimpin yang berani, inspiratif, dan visioner yang mengabdikan hidupnya untuk melawan penjajahan dan memperjuangkan kemerdekaan bangsa.

Keberanian dan kegigihan KH. Zainal Musthafa dalam melawan penjajah Jepang menjadikannya simbol perlawanan bagi rakyat Indonesia. Beliau dihormati dan disegani oleh banyak orang, pengorbanannya juga menginspirasi banyak orang untuk terus berjuang demi kemerdekaan. KH. Zainal Mustafa ditangkap oleh Jepang pada bulan September 1944 dan dipenjara di Penjara Banceuy, Bandung. Beliau disiksa dengan kejam, namun tetap teguh pendiriannya. Pada tanggal 25 Oktober 1944, beliau dihukum mati di Penjara Glodok, Jakarta. KH. Zainal Musthafa adalah pahlawan nasional Indonesia yang patut dikenang dan diteladani. Semangat juangnya dan pengorbanannya untuk bangsa patut diwariskan kepada generasi penerus.

KH. Zainal Musthafa seorang ulama kharismatik dan pahlawan nasional Indonesia yang memberikan pengaruh besar dalam perjuangan kemerdekaan di Tasikmalaya. KH. Zainal Musthafa melalui ceramah, khutbah, dan kepemimpinannya di Pesantren Sukamanah berhasil membangkitkan semangat nasionalisme dan perlawanan rakyat Tasikmalaya terhadap penjajah. KH. Zainal Musthafa memiliki pengaruh yang sangat besar sebagai tokoh pejuang di Tasikmalaya. Beliau bukan hanya seorang ulama yang disegani, tetapi juga pemimpin yang berani dan inspiratif. Semangat juangnya dan pengorbanannya untuk bangsa telah menginspirasi banyak orang di Tasikmalaya dan sekitarnya untuk melawan penjajah dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

KH. Zainal Musthafa menanamkan nilai-nilai patriotisme dan kemerdekaan kepada para santri dan masyarakat, mendorong mereka untuk melawan penindasan dan memperjuangkan hak-hak mereka. Keberanian dan kegigihannya dalam memimpin perlawanan menjadi inspirasi bagi banyak orang di Tasikmalaya. Beliau berhasil menyatukan umat Islam di Tasikmalaya untuk melawan penjajah. Persatuan ini menjadi kekuatan yang besar dalam perjuangan kemerdekaan, menunjukkan bahwa Islam tidak hanya agama, tetapi juga kekuatan pemersatu bangsa. KH. Zainal Musthafa bukan hanya seorang motivator, tetapi juga pemimpin yang berani dalam aksi. Beliau memimpin berbagai aksi perlawanan terhadap penjajah, seperti demonstrasi, pemogokan, dan sabotase. Keberanian, kegigihan, dan pengorbanan beliau menginspirasi generasi penerus untuk terus berjuang demi kemerdekaan dan keadilan. Beliau menjadi teladan bagi para pejuang kemerdekaan di seluruh Indonesia. K.H. Zainal Mustafa meninggalkan warisan yang abadi dalam bentuk semangat juang, nilai-nilai patriotisme, dan rasa persatuan. Beliau dikenang sebagai pahlawan nasional yang berjasa besar dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Semangat dan pemikiran beliau terus menginspirasi masyarakat Indonesia untuk membangun bangsa yang lebih baik.


Referensi

Tatang Hidayat dan Aam Abdussalam. KH. Zainal Musthafa’s Struggle in Developing the Nation’s Intellectual Life. Vol 23(2), Ulumuna, 2019, Hal. 332-360.

Laili Mardhatilah. Perlawanan KH Zainal Mustafa Terhadap Pemerintahan Pendudukan Militer Jepang Di Sukamanah Tahun 1944. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan: Universitas Lampung, 2019.

Ilma Fitriani. Nilai-Nilai Patriotisme Kh Zainal Musthafa 1927-1944. Program Studi Pendidikan Sejarah: Universitas Galuh, 2020.

PENGARUH KOLONIAL BELANDA TERHADAP PERKEMBANGAN PERS DI TASIKMALAYA JAWA BARAT TAHUN 1923-1942

Surat kabar atau media massa memiliki peran krusial dalam menyebarkan informasi kepada publik luas. Media ini juga menjadi wadah bagi individu untuk mengkomunikasikan ide dan pandangannya. Selain itu, hubungan media dengan politik sangatlah signifikan. Media massa memiliki kemampuan persuasif yang dapat membentuk pandangan umum serta mempengaruhi opini masyarakat terhadap isu-isu sosial dan politik yang sedang berkembang. Oleh karena itu, di Hindia Belanda juga terjadi hubungan yang erat antara pers dengan politik.

Kolonialisme dan imperialisme Belanda dapat memberikan pengaruh yang signifikan terhadap lahir, muncul, dan berkembangnya pers di Tasikmalaya, Jawa Barat pada kurun waktu 1923 hingga 1942. Tahun 1923 menjadi batasan awal temporal karena di tahun tersebut lahirnya pers milik Paguyuban Pasundan yaitu surat kabar Sipatahoenan, kemudian batas akhir dipilih tahun 1942 karena menjadi tahun terakhir penjajahan Belanda di Indonesia.

Awal tarikh abad ke-20 masehi adalah Enlightenment Era karena menjadi titik balik nasib bangsa Indonesia dengan lahirnya kebijakan Politik Etis sebagai awal mula gelombang liberalisasi dan revolusi demokrasi hadir di Hindia Belanda. Politik etis ini tujuan utamanya adalah meningkatkan kesejahteraan serta peningkatan kualitas pendidikan di Hindia Belanda, maka “edukasi” menjadi program utama dalam Politik Etis. Perubahan paling signifikan setelah adanya Politik Etis adalah melahirkan kelas sosial baru yaitu kaum Bumiputra yang terpelajar karena mendapatkan pendidikan ala Barat dari Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Kaum-kaum terpelajar ini memanfaatkan pers untuk menyuarakan perubahan sosial dan politik di Hindia Belanda, khususnya mendorong kemajuan bangsanya, kemerdekaan bangsanya dari belenggu penjajahan.

Kondisi yang terjadi di secara keseluruhan di Hindia Belanda pada kurun waktu 1900-an awal lebih banyak kaum-kaum Bumiputera terpelajar yang membangun organisasi politik dan mendirikan pers untuk menjadi corong dalam menyampaikan aspirasi kepada pemerintah kolonial. Begitu pula dengan apa yang terjadi di Tasikmalaya Jawa Barat mulai muncul banyak koran-koran lokal baik itu yang berbahasa Sunda maupun yang berbahasa Melayu atau Bahasa Indonesia.

Tabel daftar surat kabar yag terbit di Tasikmalaya pada tahun 1920-1930.

Tabel tersebut menerangkan bahwa terdapat 3 surat kabar yang terbit di Tasikmalaya pada kurun waktu 1920-1930 yaitu Sipatahoenan, Langlajang Domas, dan Pekabaran. Surat kabar Sipatahoenan dan Langlayung Domas merupakan surat kabar lokal berbahasa Sunda yang diterbitkan oleh Paguyuban Pasoendan. Paguyuban Pasoendan ini didirikan pada tahun 1914 sebagai wadah perjuangan rakyat Pasundan dengan alasan adanya keprihatinan atas kondisi orang Sunda yang tertinggal jauh oleh etnis lain seperti Jawa dan Melayu. Maka, dengan adanya surat kabar Sipatahoenan di Tasikmalaya ini menjadi wadah paling efektif untuk menyuarakan aspirasi orang-orang Sunda.

Sebenarnya sebelum lahirnya Sipatahoenan, Paguyuban Pasundan pernah menerbitkan majalah bernama Papaes Nonoman pada 1922 yang menjadi media untuk berbagai gagasan maupun pemberitahuan mengenai jalannya organisasi Paguyuban Pasundan. Namun, tidak lama setelah itu adanya kebijakan dari pemerintah kolonial untuk melarang berserikat dan berkumpul, sehingga berimbas pada terhambatnya perjuangan Paguyuban Pasundan. Setelah itu pengurus Paguyuban Pasundan dengan cepat merespon kebijakan pemerintah tersebut dengan mengadakan konferensi guna menerbitkan sebuah surat kabar, maka terciptalah Sipatahoenan pada 20 April 1923 di Tasikmalaya.

Tujuan utama diterbitkannya surat kabar Sipatahoenan bukan semata untuk mendapatkan keuntungan, melainkan karena kebutuhan untuk memiliki suatu wadah agar dapat menyebarluaskan gagasan dan memperbaiki pemikiran masyarakat Sunda kala itu. Melalui Koran Sipatahoenan ini juga lahirlah seorang jurnalis Sunda terkenal asal Tasikmalaya yaitu Sutisna Senjaya yang kini namanya diabadikan sebagai salah satu nama jalan utama di Tasikmalaya. Kiprah Sutisna Senjaya dalam koran Sipatahoenan inilah yang menjadi cikal bakal munculnya kesadaran masyarakat Tasikmalaya akan kemerdekaan Indonesia. Selain di Sipatahoenan, Sutisna Senjaya juga menjadi redaktur di beberapa surat kabar lokal seperti Koran Siliwangi (1921-1922), Langlajang Domas (1927-1928), majalah AlMawa’idz, dan majalah Kalawarta Kujang (1956).

Sebenarnya bukan hanya 3 surat kabar itu saja yang terbit di Tasikmalaya, tercatat dalam kurun waktu 1900-1942 surat kabar yang terbit di Tasikmalaya berjumlah sekitar 18 buah. 18 surat kabar tersebut ada yang menggunakan bahasa Sunda ada juga yang menggunakan bahasa Indonesia. Dalam kurun waktu yang sama juga, jumlah majalah yang terbit di Tasikmalaya sebanyak 66 buah. Maka, dengan demikian, Tasikmalaya telah menyumbangkan sekitar 27% kontribusi pers di Jawa Barat. Maka, tidak heran bahwa Tasikmalaya memegang peranan penting dalam pertumbuhan pers di Jawa Barat setelah kota Bandung. Selain itu, jumlah percetakan surat kabar dan majalah di Tasikmalaya juga tidak kalah hebatnya. Tercatat bahwa dari 18 surat kabar tersebut, 14 diantaranya dicetak di Tasikmalaya yaitu tepatnya di percetakan Galoenggoeng, Djoendjoenan, Soekapoera, dan Pemandangan.

Pemerintah kolonial Belanda sangat ketat dalam mengawasi tindak-tanduk pers milik kaum Bumiputera, karena pembahasan pers milik Bumiputera dominan membahas isu tentang kemerdekaan, kebangkitan nasional, kritik terhadap pemerintah, dan kebijakan yang tidak menguntungkan penduduk Bumiputera. Mereka tampil berani menentang pemerintah kolonial karena rata-rata pemimpin redaksinya berkedudukan sebagai anggota Volksraad (parlemen di Hindia Belanda), terutama Sutisna Senjaya yang memiliki perhatian cukup besar terhadap isu-isu politik, kadang juga yang dimuat acapkali hasil-hasil persidangan di Volksraad sehingga masyarakat di Tasikmalaya dapat mengikuti dinamika politik di Hindia Belanda secara aktual.

Lain halnya dengan surat kabar Pekabaran yang lebih bernuansa ekonomi, namun masih berhubungan dengan pergerakan nasional. Misalnya yaitu kebijakan ekonomi di Tatar Priangan yang tidak menguntungkan rakyat Bumiputera karena lebih mementingkan golongan Eropa dan Tionghoa. Ekonomi menjadi pokok pembicaraan utama dalam surat kabar ini karena dilandasi oleh keyakinan “memadjoekan oeroesan economie jang selaloe djadi soeal jang moela-moela dalem riwajat kemadjoeannja sesoeatoe negeri”.

Berdasarkan uraian ringkas di atas, terlihat jelas bahwa situasi politik yang terjadi pada masa kolonial Hindia Belanda sangat mempengaruhi perkembangan pers di Tasikmalaya pada kurun 1920-1942. Hal ini karena turut dipengaruhi oleh adanya kebijakan Politik Etis pada 1901 yang membawa semangat liberalisme dan demokrasi serta berdampak pada lahirnya kelas sosial baru yaitu kaum Bumiputera terpelajar yang membangun organisasi politik dan menerbitkan surat kabar sebagai media menyebarluaskan gagasan mereka. Di Jawa Barat khususnya di Tasikmalaya lahirlah organisasi Paguyuban Pasundan yang dilandasi oleh rasa keprihatinan atas kondisi orang Sunda yang tertinggal jauh oleh etnis lain seperti Jawa da Melayu. Kemudian berkembang membentuk surat kabar Sipatahoenan dan Langlajang Domas untuk memberikan kesadaran berkebangsaan untuk masyarakat Tatar Priangan pada waktu itu.


Referensi

Miftahul Habib Fachrurozi. Politik Etis dan Bangkitnya Kesadaran Baru Pers Bumiputra. Vol 2(1), Bihari, 2019, Hal. 13–25.

Falah, M. Pers Di Kota Tasikmalaya, 1900-1942. Vol 14(2), Sosiohumaniora, 2012, Hal. 116–131.

Ekajati, E. S. Kebangkitan Kembali Orang Sunda: Kasus Paguyuban Pasundan 1913-1918. Kiblat Buku Utama, 2004.

Liani, L. Rubrik Moerangkalih dalam Surat Kabar Sipatahoenan sebagai Sarana Edukasi pada Tahun 1935. Vol 4(1), Historia Madani, 2020.

Cecep Burdansyah. (2009). Buku, Surat Kabar, dan Masyarakat yang Merdeka. Galuhpurba. Com.

KONTRIBUSI PAGUYUBAN PASUNDAN DALAM PERKEMBANGAN PENDIDIKAN DI TASIKMALAYA TAHUN 1914-1942

Paguyuban Pasundan adalah sebuah organisasi etnis Sunda yang berdiri pada tahun 1914. Organisasi ini merupakan salah satu gerakan etnis yang tumbuh dari Jawa Barat dan masih aktif hingga saat ini. Keberadaan Paguyuban Pasundan mencerminkan kekuatan fondasi organisasi ini dan menunjukkan minat yang mendalam dari masyarakat Sunda terhadap perkembangan budaya dan pendidikan di wilayah mereka. Meski banyak organisasi pergerakan nasional lainnya telah bubar, Paguyuban Pasundan tetap bertahan dan terus berkontribusi terhadap pembangunan Indonesia di berbagai bidang.

Perjalanan panjang Paguyuban Pasundan dalam sejarah perjuangan bangsa Hindia Belanda dapat dibagi menjadi tiga fase utama. Fase pertama berlangsung selama masa penjajahan Belanda hingga tahun 1942, fase kedua selama masa penjajahan Jepang, dan fase ketiga pasca proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia hingga saat ini. Pada masa awal berdirinya, Hindia Belanda mengalami kekacauan pemerintahan akibat sistem otoriter, feodalistis, dan otokratis yang diterapkan oleh Belanda dan Jepang. Kondisi ini menimbulkan penderitaan yang mendalam bagi rakyat pribumi. Sebagai organisasi pergerakan nasional, Paguyuban Pasundan berperan aktif dalam memperjuangkan kemerdekaan Hindia Belanda, termasuk melalui gerakan di bidang pendidikan. Sebagai organisasi yang menyadari pentingnya pendidikan, Paguyuban Pasundan berfokus pada peningkatan pendidikan di wilayah Jawa Barat, khususnya Tasikmalaya. Sebelum tahun 1920, pendidikan di Tasikmalaya masih sangat terbatas, dengan hanya sedikit sekolah modern yang tersedia. Sebagian besar pendidikan yang ada berbentuk pelatihan kerajinan dan pendidikan agama. Menyikapi kenyataan ini, Paguyuban Pasundan mulai mendirikan sekolah-sekolah dan membangun Bale Pamoelang Pasoendan (BPP) di Tasikmalaya, yang kemudian menjadi populer di masyarakat karena kontribusi nya terhadap pendidikan. 

Pada masa penjajahan, Hindia Belanda mengalami keterbelakangan di bidang ekonomi, sosial, dan pendidikan. Eksploitasi yang dilakukan pemerintah Belanda menyebabkan penderitaan yang mendalam bagi rakyat pribumi. Kesadaran akan pentingnya pendidikan mulai berkembang seiring dengan munculnya kaum intelektual yang mendirikan organisasi-organisasi pergerakan, salah satunya adalah Paguyuban Pasundan. Sebelum penerapan politik etis, pendidikan di Tasikmalaya masih sangat terbatas, terutama pada pendidikan agama dan pelatihan kerajinan. Namun, dengan berdirinya Paguyuban Pasundan, pendidikan di Tasikmalaya mulai mengalami perbaikan. Paguyuban Pasundan Cabang Tasikmalaya berhasil mendirikan HIS Pasundan pada tahun 1922 dan beberapa sekolah lainnya, sehingga pendidikan di Tasikmalaya mulai berkembang pesat dibandingkan wilayah lain.

Pada awal abad ke-20, kesadaran akan keterbelakangan Hindia Belanda di berbagai bidang mulai tumbuh. Kesadaran ini diperkuat oleh penerapan politik etis, yang bertujuan memperbaiki kondisi rakyat pribumi. Namun, kebijakan pendidikan yang diterapkan pemerintah Belanda tidak merata dan diskriminatif, sehingga kaum intelektual pribumi yang telah mengenyam pendidikan modern mulai membentuk organisasi-organisasi pergerakan seperti Paguyuban Pasundan.

            Paguyuban Pasundan didirikan pada tahun 1914 oleh D.K Arwinata di Batavia. Organisasi ini bertahan hingga saat ini dan terus berperan dalam berbagai bidang, termasuk pendidikan. Pada masa awal pendiriannya, Paguyuban Pasundan aktif dalam mendirikan sekolah-sekolah di berbagai wilayah Jawa Barat, termasuk Tasikmalaya, sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan taraf pendidikan masyarakat Sunda. Paguyuban Pasundan tumbuh sejalan dengan kebijakan pemerintah kolonial yang mulai mendirikan sekolah-sekolah bergaya Barat bagi pribumi. Kontribusi Paguyuban Pasundan dalam bidang pendidikan sangat signifikan, khususnya dalam mendirikan sekolah-sekolah yang memberikan akses pendidikan modern bagi masyarakat pribumi di Tasikmalaya.   Paguyuban Pasundan memainkan peran penting dalam perkembangan pendidikan di Tasikmalaya selama periode 1914-1942. Dengan mendirikan sekolah-sekolah dan Bale Pamoelang Pasoendan (BPP), Paguyuban Pasundan berhasil meningkatkan akses pendidikan bagi masyarakat pribumi di Tasikmalaya, yang sebelumnya terbatas pada pendidikan agama dan pelatihan kerajinan. Kontribusi Paguyuban Pasundan dalam bidang pendidikan menjadi fondasi bagi perkembangan pendidikan modern di Tasikmalaya dan Jawa Barat secara keseluruhan.


Referensi

Ekadjati, E. S. Kebangkitan kembali orang Sunda: Kasus Paguyuban Pasundan 1913-1918. (Bandung: PT Kiblat Buku Utama, 1918).

PERAN RADEN ADIPATI ARIA WIRATANUNINGRAT DALAM PEMBANGUNAN KABUPATEN TASIKMALAYA TAHUN 1908-1937

Raden Adipati Aria Wiratanuningrat lahir dari keluarga kaya di Sukapura atau yang biasa disebut dengan keluarga menak. Menak adalah bangsawan, biasanya keturunan para pejabat kolonial yang memiliki gelar bangsawan dan kehormatan. Ciri-ciri Menak adalah biasanya mempunyai simbol kekuasaan, pewarisan jabatan, gaya hidup yang penuh tata krama, kekayaan melimpah dan sifat-sifat lainnya. Menak idaman setiap daerah berkaitan dengan sikap dan perilaku yang harus dimiliki oleh seorang menak, dalam keluarga Sukapura menak yang ideal adalah anak laki-laki yang memiliki kekuatan, keberanian dan juga bakat. Jika ia memiliki ketiga hal tersebut ia akan dihormati di kalangan bawahannya, konsep menak ideal menjadi tolak ukur dalam pemilihan pemimpin, bahkan seiring berkembangnya pendidikan dan bermunculan kelompok intelektual menak Sukapura sudah memiliki ketiga hal tersebut.

Raden Adipati Aria Wiratanuningrat lahir pada tanggal 19 Februari 1878 di Nagrang, kabupaten Taraju, Ia merupakan putra dari penguasa ke-13 Raden Aria Prawira Adiningrat dan istrinya Raden Ajoe Ratna Poer. Dari pihak ayah, Raden Adipati Aria Wiratanuningrat merupakan seorang cucu. Penguasa ke-12 Raden Adipati Wiradadaha (1875-1901) atau dikenal dengan Dalem Bogor yang tinggal di Karang Pucung. Dalem Bogor diberi gelar adipati dan terkenal karena sifatnya yang bijaksana, sabar dan adil. Beliau wafat pada tahun 1912 dan dimakamkan di Tanjungmalaya Manonjaya. Raden Adipati Aria Wiratanuningrat juga merupakan Cicit sang penguasa, yakni penguasa Wiradadaha VIII atau Raden Tumenggung Danuningrat yang wafat pada tahun 1844 dan dimakamkan di Manonjaya, Tanjungmalaya.

Peranan Raden Adipati Aria Wiratanuningrat dalam Pembangunan Kabupaten Tasikmalaya

Raden Adipati Aria Wiratanuningrat mengawali masa pemerintahannya dengan menjadi Bupati Sukapura. Di bawah manajemen Raden Adipati Aria Wiratanuningrat Kabupaten Sukapura mengalami kemajuan yang sangat pesat. Pembangunan di segala bidang sangat sukses sehingga mendapat respon positif dari pemerintah kolonial. Oleh karena itu, penguasa ini mendapat banyak penghormatan dari pemerintah kolonial dan dicintai oleh masyarakat Sukapura yang langsung mengalami kemajuan di berbagai bidang di bawah penguasanya. Melalui kiprah nya diketahui bahwa dalam pembangunan Tasikmalaya, Raden Adipati Aria Wiratanuningrat lebih berperan penting dalam kedudukannya sebagai bupati, karena pembangunan pusat kabupaten menjadi tanggung jawab bupati. Raden Adipati Aria Wiratanuningrat mampu memanfaatkan kebijakan pemerintah untuk kepentingan pemerintah kolonial dengan menyampaikan instruksi pemerintah kolonial kepada rakyat, namun Ia juga memperhatikan kepentingan dan kesejahteraan rakyatnya. Upaya penguasa Raden Adipati Aria Wiratanuningrat untuk memajukan kesejahteraan manusia khususnya di bidang agama, pendidikan, pembangunan fisik, transportasi, ekonomi, dan pertanian.

Salah satu layanan paling terkenal dari Raden Adipati Aria Wiratanuningrat adalah membuka rawa-rawa menjadi persawahan yang disebut ngabukbak Lakbok (pembukaan lahan di Kecamatan Lakbok, sekarang bagian Kabupaten Administratif Kota Banjar). Rawa Lakbok terdiri dari dua bagian yaitu Lakbok Utara dan Lakbok Selatan, Lakbok Utara luasnya sekitar 5.931 ha dan Lakbok Selatan luasnya 600 ha. Hingga tahun (1923), dataran bagian atas masih berupa rawa-rawa yang dipenuhi tanaman dan semak belukar dengan udara yang tidak sehat. Tujuan dari reklamasi lahan ini adalah untuk menghasilkan lahan yang awalnya tidak produktif sehingga menjadi penghasil padi yang potensial.

Sepuluh tahun kemudian, rawa yang tadinya hutan lebat dan tidak pernah dimasuki manusia, menjadi lahan pertanian dan bermunculan desa-desa di sekitar Lakbok Rawa. Desa-desa tersebut tergolong besar, antara lain Pataruman, Ciawitali, dan Sindangang. Sementara itu, kemajuan di sektor pertanian sangat signifikan. Raden Adipati Aria Wiratanuningrat berhasil membangun masyarakatnya ke arah yang lebih sejahtera sesuai potensi sumber daya alam dan sumber daya manusianya. Artinya, ia mempunyai kemampuan kepemimpinan dan manajemen baik sebagai pemimpin daerah maupun pemimpin adat.

Gaya Kepemimpinan Raden Adipati Aria Wiratanuningrat

Di bawah kepemimpinan penguasa Raden Adipati Aria Wiratanuningrat, falsafah manajemen dan kehidupan masyarakat Sunda mempunyai ciri dan corak tersendiri, sehingga menyimpang dari prinsip-prinsip hidup atau falsafah hidup dan manajemen dalam politiknya. Apa yang Ia suka meskipun kehidupannya masih sangat tradisional dan masih feodal, namun pemerintahan negara Raden Adipati Aria Wiratanuningrat tidak dilaksanakan dengan cara kekerasan atau paksaan, melainkan dilandasi oleh nilai-nilai budaya dan juga nilai-nilai agama yang menjadi landasan tata kelola pemerintahan yang baik. Kepemimpinan Raden Adipati Aria Wiratanuningrat mengawali babak sejarah baru. Kebijakan Belanda yang berpindah ke arah yang berbeda menyebabkan perubahan penting dalam masyarakat, munculnya identitas dan kesadaran organisasi, termasuk juga kepemimpinan para manajer.

Peralihan menuju era nasionalisme pada awal abad ke-20 melahirkan kepemimpinan baru Indonesia. Feodalisme mulai surut di kalangan tokoh masyarakat dan mulai terbentuknya masyarakat intelektual modern. Kepemimpinan para penguasa juga di Tasikmalaya mengalami perubahan yang signifikan setelah tahun 1920, tentu saja disusul dengan peran aktif penguasa Raden Adipati Aria Wiratanuningrat. Perubahan yang terjadi tentunya akan mempengaruhi kepemimpinan penguasa Raden Adipati Aria Wiratanuningrat, Ia dapat menjadi penguasa yang mampu beradaptasi dengan perubahan yang ada dan pemimpin yang mendorong masyarakat untuk ikut serta dalam perubahan tersebut.              Raden Adipati Aria Wiratanuningrat mampu mempertahankan kekuasaannya selama kurang lebih 30 tahun dan berhasil mendapat penghargaan dari pemerintah kolonial atas keberhasilannya pada masa pemerintahannya. Konsep pengelolaan Sunda yang digunakan penguasa Raden Adipati Aria Wiratanuningrat sejalan dengan gaya pemerintahan feodal yang demokratis. Gaya kepemimpinan bupati Raden Adipati Aria Wiratanuningrat yang feodal-demokratis cocok dengan konsep kepemimpinan Sunda atau parigeuing, karena di dalamnya memuat ciri-ciri dan perilaku seorang pemimpin dalam memimpin. Akhirnya dengan menggunakan gaya kepemimpinan tersebut Raden Adipati Aria Wiratanuningrat dapat menjadi pemimpin yang sukses membawa masyarakatnya menuju kepada kesejahteraan.


ORGANISASI FREEEMASONRY PADA MASA KOLONIAL DI TASIKMALAYA

Freemasonry adalah sebuah organisasi rahasia di Inggris dan sudah ada sejak 1717. Organisasi ini meluas hingga daratan Eropa yaitu Prancis hingga Belanda, yang diawali dengan berdirinya Loji Agung Nederland tahun 1756. Penyebaran Freemasonry di Nusantara sebagai akibat dari adanya kontak budaya Eropa yang dibawa oleh Belanda. Bukti nyata yang terlihat yaitu berdirinya Loji ‘La Fidele Sincerite’ dan ‘La Vertueuse’ pada tahun 1767-1769 di Batavia. Di abad ke-20, anggota Freemason sudah mulai berisikan kalangan elit bumiputera, mereka bergabung melalui propaganda yang dikeluarkan oleh organisasi tersebut.

Titik awal munculnya organisasi Freemasonry saat bergabungnya seorang wedana bernama Raden Somanah Soeria Di Redja dari distrik Tasikmalaya sekitar abad ke-20. Menurut dokumen Pemerintah Kolonial, Raden Somanah telah menjabat sejak tanggal 12 Agustus 1900. Distrik Tasikmalaya berada di bawah Afdeeling Soekapoera pada tahun 1902, wilayah Tasikmalaya berada di bawah yurisdiksi Afdeeling Soekapoera. Raden Somana bergabung pada 12 Januari 1901 di Loji St. Jan yang ada di Bandung. Loji sendiri merupakan tempat penerimaan anggota Freemason.

Organisasi Freemason kenyataannya bertentangan dengan aliran gereja sebab memuat unsur Gnostik dalam Injil Yohanes. Rudolf Bultmann, pakar Alkitab asal Jerman mengutarakan jika Injil Yohanes bukan berasal dari budaya Kristen, melainkan hasil modifikasi budaya Yohanes pembaptis. Bagi Freemason sendiri, Santo Yohanes sebagai lambang kebajikan tertinggi, akan tetapi, ajaran kebaikan ini malah dijadikan propaganda bagi para elit pribumi agar menerima kolonialisme dan tidak bermusuhan dengan bangsa Eropa.

Pada saat penerimaan anggota, A.M. yaitu pemuka ritual mengutarakan pidato yang mengarah kepada tugas mereka untuk menguasai pribumi. Kegiatan Freemasonry ini sejalan dengan pandangan Snouck Hurgronje yang mengkritik sikap pejabat kolonial terhadap Islam. Menurut Snouck, sikap pejabat Belanda yang menganggap ketaatan para bangsawan yang tidak minum alkohol serta beribadah secara sembunyi-sembunyi adalah keliru. Akibatnya, para bangsawan merasa terpaksa meninggalkan agama mereka, yang tidak menguntungkan bagi kolonialisme Belanda. Dalam bidang pendidikan, terjadi dikotomi antara kaum bangsawan dan abangan yang mendalami bahasa Sanskerta, Hinduisme, Jawa Kuno, sementara kaum santri lebih mendalami bahasa Arab. Sehingga, Snouck merancang kebijakan untuk mengajak para bangsawan supaya memihak Belanda dapat diterapkan lewat pendekatan Freemason yang mendorong mereka untuk menjadi anggota.

Menurut buku Tahunan Masonik Hindia 1922-1923, ditemukan surat yang menunjukkan adanya anggota Freemason Belanda di Tasikmalaya. Surat tersebut ditulis oleh Br. Eggink tahun 1881-1959. Isinya membahas mengenai kegiatan pertemuan yang meninjau urusan masonik dan kepentingan lokal yang diadakan setiap pekan ketiga dalam satu bulan. Tidak lama setelah terlibat dalam berbagai aktivitas Freemason, Eggink menjadi kepala Sekolah di Sekolah Netral di Yogyakarta pada tahun 1923-1925. Sekolah netral ini adalah institusi pendidikan yang didirikan Freemasonry. Dikatakan netral sebab sebagian besar sekolah dibangun berdasarkan aktivitas keagamaan seperti sekolah Misionaris, sekolah Zendin. Istilah ‘netral’ digunakan sebagai ungkapan pemikiran yang mencerminkan sekularisme Freemason yang condong menolak peran agama di kehidupan sosial, meskipun tidak di kehidupan pribadi. Ideologi ini disebar melalui pendidikan, seperti pendirian sekolah netral dan perpustakaan rakyat.

Informasi lain mengenai Freemasonry di Tasikmalaya mencatat bahwa pada tanggal 1 Juni 1938, Loji Agung Provinsial Hindia Belanda mendaftarkan seorang  kandidat baru. Pada bulan Mei 1938, Jacobus Johannes Adriaan Stam dari Tasikmalaya menjadi anggota Freemasonry pada usia 33 tahun. Stam, yang lahir di Ginneken pada 15 Januari 1904 sebagaimana tercatat dalam dokumen Geboorteregister 1904, bergabung dengan Freemasonry yang sangat menekankan pentingnya pendidikan. Stam sendiri adalah seorang Kepala Sekolah. Pada tahun 1939, seorang Freemason bernama P. W. Onnen berdomisili di Tasikmalaya, tinggal di Manondjajaweg no. 79. Ia merupakan administrator kelas 3.

Freemasonry mulai hadir di Tasikmalaya pada awal abad ke-20 dengan bergabungnya Raden Somanah Soeria Di Redja, seorang Wedana, pada 12 Januari 1901 di Loji Bandung. Penerimaan anggota ini merupakan bagian dari strategi Freemasonry untuk mempengaruhi elit bumiputera agar tidak memusuhi kaum Eropa dan menerima kolonialisme. Surat korespondensi dari Leonard Gerardus Eggink menegaskan peran Freemasonry dalam mempromosikan pendidikan netral yang sekular di Hindia Belanda. Sekolah netral didirikan sebagai upaya untuk mengimplementasikan ideologi sekularisme yang menolak peran agama dalam kehidupan sosial. Semua ini menggambarkan bagaimana Freemasonry berfungsi sebagai alat pengaruh sosial dan politik di Tasikmalaya selama masa kolonial, memadukan pendidikan dengan strategi politik untuk memperkuat dominasi kolonial Belanda.


Referensi

Faizal Arifin, Rahmat Mulya Nugraha, dan Taryadi. Sejarah Freemasonry di Tasikmalaya, 1902-1939. Vol 2(1), Jazirah: Jurnal Peradaban dan Kebudayaan,  2021, Hal. 1-16.

BIOGRAFI SUTISNA SENJAYA SEBAGAI TOKOH PERLAWANAN KOLONIAL DI TASIKMALAYA

Pemerintah Kolonial Belanda menguasai berbagai wilayah di Nusantara. Kehadirannya membawa banyak dampak yang dapat dilihat dari berbagai aspek. Salah satunya adalah dalam aspek politik atau pemerintahan. Selama menjajah, Belanda menggunakan sistem pemerintahan baru dan diterapkan di berbagai wilayah yang dikuasai nya, Salah satu wilayahnya adalah Tasikmalaya yang memiliki banyak peristiwa sejarah.

Tasikmalaya masuk ke dalam wilayah Priangan Timur yang secara geografis merupakan wilayah paling timur dari. Wilayah Priangan menjadi sebuah wilayah yang diperebutkan oleh 3 kekuatan besar yaitu Mataram, Banten, dan VOC. VOC menjadi kekuatan terbesar yang akhirnya berhasil menguasai Priangan pada 19-20 Oktober 1677. Kemudian pada tahun 1799 tepatnya setelah VOC resmi dibubarkan, wilayah Priangan diambil alih kekuasaannya oleh Pemerintah Hindia Belanda. Priangan lalu menjadi salah satu wilayah Pemerintahan setingkat keresidenan.

Sebagai salah satu yang masuk dalam wilayah Priangan, Tasikmalaya tentu menjadi wilayah yang sempat diduduki dan dikuasi oleh Kolonial Belanda. Beberapa peristiwa bersejarah dalam rangka memperjuangkan kemerdekaan juga sempat dilakukan oleh masyarakat setempat. Bukan hanya itu, Tasikmalaya juga mendapatkan pengaruh dari kolonial Belanda dalam berbagai aspek baik, sosial, budaya, politik, dan lain sebagainya. Salah satu yang menarik adalah sistem pemerintahan yang diterapkan oleh pemerintah Hindia Belanda dalam bentuk afdeeling.

Pada tahun 1862, sistem afdeeling diperkenalkan oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai struktur pemerintahan Kabupaten Tasikmalaya pada saat itu. Secara administratif, afdeeling adalah wilayah administratif yang setingkat dengan kabupaten. Sedangkan, secara struktur pemerintahan, afdeeling terdiri dari beberapa onderafdeeling yang setingkat dengan kawedanan. Tujuan afdeeling ini adalah agar kekuasaan bupati dapat berkurang karena dalam keseharian nya pemerintahan di wilayah afdeeling ini dijalankan oleh oofd van plaastelijke bestuur atau setingkat dengan asisten residen yang juga didampingi oleh patih afdeeling. Patih memiliki tugas untuk menjadi koordinator dari para bawahan bupati lainnya di ibukota kabupaten.

Salah satu kabupaten di Priangan yang diterapkan sistem afdeeling adalah Kabupaten Sumedang. Berdasarkan sistem afdeeling, Kabupaten Sumedang dipecah mejadi dua afdeeling yaitu afdeeling Baloeboer op Noord Soemedang dan Afdeeling Galoenggoeng yang terletak sekitaran daerah Manonjaya, Ibu Kota Sukapura. Pembentukan afdeeling Geloenggoeng ini memberikan dampak bagi status Kota Tasikmalaya karena Kota Tasikmalaya tidak hanya berkedudukan sebagai hoofdplaats der distict tetapi juga menjadi hofplaats der afdeeling. Dengan itu, Kota Tasikmalaya tidak hanya menjadi tempat tinggal wedana, tetapi juga menjadi tempat tinggal asisten residen dan patih sebagai wakil bupati di daerahnya.

Pada tahun 1870 kembali terjadi perubahan wilayah pemerintahan. Pemerintah Belanda ingin menerapkan sistem pemerintahan langsung di wilayah Priangan karena dianggap kekuasaan bupati masih terlalu besar. Kebijakan baru ini dikenal dengan sebutan Reorganisasi Priangan. Dalam kebijakan ini, Preanger-Regentschappen dibagi menjadi 9 afdeeling termasuk salah satunya adalah Afdeeling Tasikmalaya. Meskipun secara administratif wilayah terjadi perubahan, namun kedudukan Kota Tasikmalaya sebagai pusat pemerintahan afdeeling Tasikmalaya tidak berubah. Identitas Tasikmalaya sebagai sebuah kota memiliki fungsi administratif, politik, serta ideologi yang semakin kuat.  Peningkatan status kota Tasikmalaya dari distrik menjadi afdeeling memperkuat fungsi ideologi nya. Fungsi administratif dapat berjalan dengan efektif karena kota Tasikmalaya memiliki peran sebagai pusat informasi serta pengambilan keputusan. Kota Tasikmalaya juga menjadi pusat konsentrasi kekuatan yang terlihat dalam berbagai bentuk kekuatan militer serta sistem perlindungan elite kota yang juga memperkuat fungsi politiknya.

Pada tahun 1901 pemerintah kolonial Belanda melakukan reorganisasi wilayah Priangan. Afdeeling Tasikmalaya dan Sukapura dihapus dan wilayahnya digabungkan dengan afdeeling Sukapura. Hal ini tertera pada keputusan Gubernur Jenderal Willem Rooseboom nomor 4 Tanggal 1 September 1901. Pusat kota Sukapura yang awalnya adalah Manonjaya kemudian diubah menjadi Kota Tasikmalaya yang ditandai dengan peletakan batu pertama untuk pembangunan pendopo yang letaknya sekitar 300 meter ke arah Timur Majid Agung Tasikmalaya. Pada tahun 1921 distrik Tasikmalaya dibagi menjadi tiga onderdistrik yang di dalamnya termasuk Tasikmalaya, Indihiang, dan Kawalu. Kota Tasikmalaya juga ditetapkan menjadi ibu kota afdeeling Priangan Timur yang terdiri dari Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis sehingga sekitar tahun 1926 fungsi ideologi nya menguat. Dalam kurun waktu ini, residen memegang peran sebagai kepala pemerintahan afdeeling.

Pada tahun 1931 afdeeling Priangan Barat, Priangan Tengah, dan Priangan Timur dihapus oleh pemerintah kolonial Belanda dan digabungkan ke dalam afdeeling Priangan. Pada tahun 1937, nama afdeeling kemudian diganti menjadi residentie yang dalam wilayah Priangan terdiri dari lima kabupaten yaitu Garut, Bandung, Sumedang, Tasikmalaya, dan Ciamis. Setelah kekuasaan Belanda berakhir pada tahun 1942 dan setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan Priangan menjadi salah satu keresidenan di wilayah Jawa Barat. Keresidenan Priangan ini terdiri dari 5 kabupaten yaitu Bandung, Garut, Sumedang, Tasikmalaya, dan Ciamis. Selain lima keresidenan, Priangan juga memiliki satu kota praja yaitu Bandung. Pada awalnya, wilayah keresidenan dipertahankan akan tetapi wilayah pemerintahan ini kemudian dihilangkan. Namun, hal tersebut tidak menghapus nama Priangan dalam memori masyarakat.

Tasikmalaya sebagai salah satu dari Priangan pada intinya pernah menjadi bagian dari dinamika Kabupaten Sumedang sebelum pada akhirnya pada tahun 1901 menjadi bagian integral dari Kabupaten Sukapura yang selanjutnya berubah nama menjadi Kabupaten Tasikmalaya. Kota Tasikmalaya berkembang dari kota distrik menjadi kota kabupaten dan keresidenan. Pemerintah kolonial Belanda membawa pengaruhnya ke dalam sistem pemerintahan Tasikmalaya, dapat dilihat juga dari adanya perpindahan ibu kota Sukapura dari Manonjaya ke Kota Tasikmalaya.

BIOGRAFI SUTISNA SENJAYA SEBAGAI TOKOH PERLAWANAN KOLONIAL DI TASIKMALAYA

Sutisna Senjaya adalah salah satu pahlawan lokal yang dikenal karena perannya dalam melawan kolonialisme di Tasikmalaya, Jawa Barat. Sebagai tokoh perlawanan, Sutisna tidak hanya menjadi simbol perjuangan rakyat dalam menentang ketidakadilan yang dilakukan oleh pemerintahan kolonial Belanda, tetapi juga memperlihatkan semangat keberanian dan kepemimpinan yang luar biasa dalam membela tanah air.

Sutisna Senjaya, lahir di Wanaraja, Garut, pada tanggal 27 Oktober 1890 M dan meninggal dunia di Bandung pada tanggal 11 Desember 1961, Sutisna tidak hanya seorang tokoh NU yang terkemuka, tetapi juga tokoh pers yang terkenal di Jawa Barat. Ia menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Majalah al-Mawa’idz yang terbit pada bulan Agustus 1933 oleh Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Tasikmalaya dengan nama Pangrodjong Nahdlatoel ‘Oelama. Ia terus berkiprah di NU hingga ke tingkat daerah. Ia terpilih menjadi Ketua Tanfidziyah PWNU Jawa Barat pada tahun 1948. Ia terlibat dalam gerakan Persatuan Pasundan selain berkiprah di NU.

Selain Al-Mawaidz, ia juga memiliki pengalaman sebagai wartawan, pada masa penjajahan Belanda, ia pernah menjabat sebagai editor sejumlah jurnal, termasuk Silliwangi (1921–1922). Ia aktif menulis di surat kabar Sipatahoenan (1923). Ia sering menulis dengan menggunakan inisial Sutsen. Pada tahun 1911, Sutsen menempuh pendidikan di Sakola Raja (Sekolah Kweek) Bandung. Awalnya di HIS Banten, Sutsen mengajar di HIS Bandung dan Setelah itu, ia melanjutkan pendidikan di HKS dan melanjutkan karier mengajar di HIS Pasundan 1 Tasikmalaya.

Selain itu sutsen bergabung dengan Chuo Sangi di tengah pendudukan Jepang. Kemudian, pada masa revolusi itu sendiri, ia diangkat menjadi koordinator gerakan perjuangan rakyat dan anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) Tasikmalaya. Sutsen dan para petinggi NU Tasikmalaya pada masa penjajahan Belanda, termasuk KH Ruhiat (ayah Rais Aam PBNU KH Ilyah Ruhiat), berpendapat bahwa gelar Ulil Amri dari pemerintah kolonial harus dilihat sebagai siyasi (politik). Pemerintah Hindia Belanda adalah pemerintah yang sah, tetapi tetap menjadi penguasa asing yang hanya memiliki kewenangan politik. Oleh karena itu, pemerintah hanya dapat mengendalikan masyarakat dalam hal politik.

Para ulama yang menjadi panutan masyarakat diberi kewenangan penuh atas hal-hal lain, seperti agama. Pada tahun 1952, di masa kemerdekaan, Sutsen memangku jabatan sebagai Kepala Kantor Urusan Agama di Jakarta. Pada tahun 1954, ia pensiun dan menjadi anggota Daya Sunda. Setelah itu, ia kembali menekuni karier jurnalistiknya bersama teman-temannya. Selain menjabat sebagai pemimpin redaksi, ia juga menerbitkan Kalawarta Kudjang, majalah bulanan berbahasa Sunda, pada tahun 1956.

Sutisna Senjaya sejak di Tasikmalaya pada akhir abad ke-19, di tengah kondisi politik dan sosial yang didominasi oleh kekuasaan kolonial Belanda. Pada masa itu, masyarakat di berbagai daerah di Indonesia mengalami penindasan, terutama dalam bentuk pajak yang tinggi, kerja paksa, dan pemaksaan sistem tanam paksa (cultuurstelsel) yang membebani kehidupan rakyat. Dari keluarga yang sederhana, Sutisna tumbuh dengan kesadaran sosial yang kuat. Sejak muda, ia menyaksikan ketidakadilan yang menimpa rakyat di daerahnya, seperti perampasan tanah oleh pihak kolonial dan kerja paksa yang menyengsarakan petani, Pengalaman ini membentuk kepribadiannya sebagai seseorang yang memiliki kepedulian tinggi terhadap nasib rakyat kecil dan ketidakadilan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial.

Awal Perlawanan pada awal abad ke-20, perlawanan terhadap Belanda mulai tumbuh di berbagai wilayah, termasuk di Tasikmalaya. Sutisna Senjaya menjadi salah satu tokoh yang aktif dalam mengorganisir masyarakat untuk melawan penindasan ini dan memanfaatkan pengaruhnya di kalangan masyarakat lokal untuk menyebarkan semangat anti-kolonialisme dan mendorong rakyat agar tidak tunduk pada perintah kolonial yang merugikan. Salah satu bentuk perlawanan yang dipimpin oleh Sutisna adalah gerakan yang menolak sistem tanam paksa dan menentang pajak yang memberatkan rakyat. Selain itu juga Sutisna berusaha mengorganisir masyarakat petani dan pedagang kecil untuk melawan ketidakadilan ekonomi yang terjadi. Dalam perjuangannya, Sutisna dikenal cerdas dalam merancang strategi perlawanan dan mampu menggalang dukungan luas dari masyarakat lokal.

Selain memimpin perlawanan lokal, Sutisna Senjaya juga terlibat dalam gerakan nasionalis yang lebih luas di Jawa Barat. Ia bergabung dengan tokoh-tokoh pergerakan lainnya yang berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Dalam konteks ini, Sutisna tidak hanya berfokus pada perlawanan fisik melawan penjajah, tetapi juga mendukung gerakan politik yang bertujuan untuk mencapai kemerdekaan bangsa. Sutisna sering kali menjadi penghubung antara berbagai kelompok perlawanan di Tasikmalaya dan daerah sekitarnya dan menggunakan kemampuan organisasinya untuk memperkuat jaringan perlawanan di pedesaan dan kota, serta bekerja sama dengan para pemimpin lokal lainnya yang memiliki tujuan yang sama.

Sutisna Senjaya wafat pada pertengahan abad ke-20, namun perjuangannya terus dikenang oleh masyarakat Tasikmalaya dan sekitarnya. Sebagai salah satu tokoh perlawanan yang paling dihormati di daerah ini, namanya menjadi simbol keberanian dan keteguhan hati dalam menghadapi penindasan kolonial. Warisan Sutisna bukan hanya soal perlawanan terhadap penjajah, tetapi juga tentang bagaimana seorang pemimpin lokal mampu menginspirasi rakyat untuk bersatu melawan ketidakadilan. Sebagai penghormatan atas jasa-jasanya, beberapa tempat dan institusi di Tasikmalaya dan Jawa Barat kini menggunakan namanya untuk mengenang perjuangannya. Sutisna Senjaya tetap menjadi tokoh penting dalam sejarah perjuangan melawan kolonialisme di Indonesia, khususnya di wilayah Jawa Barat.


Referensi

Miftahul Falah, Nina Herlina Lubis, Kunto Sofianto. Morfologi Kota-kota di Priangan Timur pada Abad XX–XXI; Studi Kasus Kota Garut, Ciamis, dan Tasikmalaya. 9(1), Patanjala, 2017,  Hal. 1-14.

Nina H. Lubis. Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942. Bandung: Pusat Informasi Kebudayaan Sunda, 2020.

Miftahul Falah. Pertumbuhan Kota Tasikmalaya (1920-1942) dari Kota Distrik Menjadi Kota Kabupaten. Vol 1 (2), Metahumaniora, 2009, Hal. 200-216.

Aldi Cahya Maulidan. History of Pagoejoeban Pasoendan 1913-1942. Vol 8 (1), Santhet Jurnal Sejarah Pendidikan Dan Humaniora, 2024, Hal. 721-732.

Rio Setiawan. Keberadaan jemaat ahmadiyah indonesia (jai) tenjowaringin tasikmalaya pasca keluarnya peraturan gubernur (pergub) jawa barat no 12 tahun 2011 tentang larangan ahmadiyah (Bachelor’s thesis). Skripsi, UINJKT.

Abdulloh Alawi. (2022). Sutisna Senjaya Tokoh Pers NU Jawa Barat. Diakses pada 29 Januari 2022. Dari https://m.nu.or.id/jabar/sutisna-senjaya-tokoh-pers-nu-jawa-barat-VCA68

Aldi Cahya Maulidan. History of Pagoejoeban Pasoendan 1913-1942. Vol 8(1), Santhet (Jurnal Sejarah Pendidikan Dan Humaniora), 2024, Hal. 721-732.

PERKEMBANGAN SISTEM PEMERINTAHAN TASIKMALAYA PADA MASA PEMERINTAHAN KOLONIAL BELANDA

Pemerintah Kolonial Belanda menguasai berbagai wilayah di Nusantara. Kehadirannya membawa banyak dampak yang dapat dilihat dari berbagai aspek. Salah satunya adalah dalam aspek politik atau pemerintahan. Selama menjajah, Belanda menggunakan sistem pemerintahan baru dan diterapkan di berbagai wilayah yang dikuasai nya, Salah satu wilayahnya adalah Tasikmalaya yang memiliki banyak peristiwa sejarah.

Tasikmalaya masuk ke dalam wilayah Priangan Timur yang secara geografis merupakan wilayah paling timur dari[1]. Wilayah Priangan menjadi sebuah wilayah yang diperebutkan oleh 3 kekuatan besar yaitu Mataram, Banten, dan VOC. VOC menjadi kekuatan terbesar yang akhirnya berhasil menguasai Priangan pada 19-20 Oktober 1677. Kemudian pada tahun 1799 tepatnya setelah VOC resmi dibubarkan, wilayah Priangan diambil alih kekuasaannya oleh Pemerintah Hindia Belanda. Priangan lalu menjadi salah satu wilayah Pemerintahan setingkat keresidenan.

Sebagai salah satu yang masuk dalam wilayah Priangan, Tasikmalaya tentu menjadi wilayah yang sempat diduduki dan dikuasi oleh Kolonial Belanda. Beberapa peristiwa bersejarah dalam rangka memperjuangkan kemerdekaan juga sempat dilakukan oleh masyarakat setempat. Bukan hanya itu, Tasikmalaya juga mendapatkan pengaruh dari kolonial Belanda dalam berbagai aspek baik, sosial, budaya, politik, dan lain sebagainya. Salah satu yang menarik adalah sistem pemerintahan yang diterapkan oleh pemerintah Hindia Belanda dalam bentuk afdeeling.

Pada tahun 1862, sistem afdeeling diperkenalkan oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai struktur pemerintahan Kabupaten Tasikmalaya pada saat itu. Secara administratif, afdeeling adalah wilayah administratif yang setingkat dengan kabupaten. Sedangkan, secara struktur pemerintahan, afdeeling terdiri dari beberapa onderafdeeling yang setingkat dengan kawedanan. Tujuan afdeeling ini adalah agar kekuasaan bupati dapat berkurang karena dalam keseharian nya pemerintahan di wilayah afdeeling ini dijalankan oleh oofd van plaastelijke bestuur atau setingkat dengan asisten residen yang juga didampingi oleh patih afdeeling. Patih memiliki tugas untuk menjadi koordinator dari para bawahan bupati lainnya di ibukota kabupaten.

Salah satu kabupaten di Priangan yang diterapkan sistem afdeeling adalah Kabupaten Sumedang. Berdasarkan sistem afdeeling, Kabupaten Sumedang dipecah mejadi dua afdeeling yaitu afdeeling Baloeboer op Noord Soemedang dan Afdeeling Galoenggoeng yang terletak sekitaran daerah Manonjaya, Ibu Kota Sukapura. Pembentukan afdeeling Geloenggoeng ini memberikan dampak bagi status Kota Tasikmalaya karena Kota Tasikmalaya tidak hanya berkedudukan sebagai hoofdplaats der distict tetapi juga menjadi hofplaats der afdeeling. Dengan itu, Kota Tasikmalaya tidak hanya menjadi tempat tinggal wedana, tetapi juga menjadi tempat tinggal asisten residen dan patih sebagai wakil bupati di daerahnya.

Pada tahun 1870 kembali terjadi perubahan wilayah pemerintahan. Pemerintah Belanda ingin menerapkan sistem pemerintahan langsung di wilayah Priangan karena dianggap kekuasaan bupati masih terlalu besar. Kebijakan baru ini dikenal dengan sebutan Reorganisasi Priangan. Dalam kebijakan ini, Preanger-Regentschappen dibagi menjadi 9 afdeeling termasuk salah satunya adalah Afdeeling Tasikmalaya. Meskipun secara administratif wilayah terjadi perubahan, namun kedudukan Kota Tasikmalaya sebagai pusat pemerintahan afdeeling Tasikmalaya tidak berubah. Identitas Tasikmalaya sebagai sebuah kota memiliki fungsi administratif, politik, serta ideologi yang semakin kuat.  Peningkatan status kota Tasikmalaya dari distrik menjadi afdeeling memperkuat fungsi ideologi nya. Fungsi administratif dapat berjalan dengan efektif karena kota Tasikmalaya memiliki peran sebagai pusat informasi serta pengambilan keputusan. Kota Tasikmalaya juga menjadi pusat konsentrasi kekuatan yang terlihat dalam berbagai bentuk kekuatan militer serta sistem perlindungan elite kota yang juga memperkuat fungsi politiknya.

Pada tahun 1901 pemerintah kolonial Belanda melakukan reorganisasi wilayah Priangan. Afdeeling Tasikmalaya dan Sukapura dihapus dan wilayahnya digabungkan dengan afdeeling Sukapura. Hal ini tertera pada keputusan Gubernur Jenderal Willem Rooseboom nomor 4 Tanggal 1 September 1901. Pusat kota Sukapura yang awalnya adalah Manonjaya kemudian diubah menjadi Kota Tasikmalaya yang ditandai dengan peletakan batu pertama untuk pembangunan pendopo yang letaknya sekitar 300 meter ke arah Timur Majid Agung Tasikmalaya. Pada tahun 1921 distrik Tasikmalaya dibagi menjadi tiga onderdistrik yang di dalamnya termasuk Tasikmalaya, Indihiang, dan Kawalu[2]. Kota Tasikmalaya juga ditetapkan menjadi ibu kota afdeeling Priangan Timur yang terdiri dari Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis sehingga sekitar tahun 1926 fungsi ideologi nya menguat. Dalam kurun waktu ini, residen memegang peran sebagai kepala pemerintahan afdeeling.

Pada tahun 1931 afdeeling Priangan Barat, Priangan Tengah, dan Priangan Timur dihapus oleh pemerintah kolonial Belanda dan digabungkan ke dalam afdeeling Priangan[3]. Pada tahun 1937, nama afdeeling kemudian diganti menjadi residentie yang dalam wilayah Priangan terdiri dari lima kabupaten yaitu Garut, Bandung, Sumedang, Tasikmalaya, dan Ciamis. Setelah kekuasaan Belanda berakhir pada tahun 1942 dan setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan Priangan menjadi salah satu keresidenan di wilayah Jawa Barat. Keresidenan Priangan ini terdiri dari 5 kabupaten yaitu Bandung, Garut, Sumedang, Tasikmalaya, dan Ciamis. Selain lima keresidenan, Priangan juga memiliki satu kota praja yaitu Bandung. Pada awalnya, wilayah keresidenan dipertahankan akan tetapi wilayah pemerintahan ini kemudian dihilangkan. Namun, hal tersebut tidak menghapus nama Priangan dalam memori masyarakat. Tasikmalaya sebagai salah satu dari Priangan pada intinya pernah menjadi bagian dari dinamika Kabupaten Sumedang sebelum pada akhirnya pada tahun 1901 menjadi bagian integral dari Kabupaten Sukapura yang selanjutnya berubah nama menjadi Kabupaten Tasikmalaya. Kota Tasikmalaya berkembang dari kota distrik menjadi kota kabupaten dan keresidenan. Pemerintah kolonial Belanda membawa pengaruhnya ke dalam sistem pemerintahan Tasikmalaya, dapat dilihat juga dari adanya perpindahan ibu kota Sukapura dari Manonjaya ke Kota Tasikmalaya.


Referensi

Miftahul Falah, Nina Herlina Lubis, Kunto Sofianto. Morfologi Kota-kota di Priangan Timur pada Abad XX–XXI; Studi Kasus Kota Garut, Ciamis, dan Tasikmalaya. 9(1), Patanjala, 2017,  Hal. 1-14.

Nina H. Lubis. Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942. Bandung: Pusat Informasi Kebudayaan Sunda, 2020.

Miftahul Falah. Pertumbuhan Kota Tasikmalaya (1920-1942) dari Kota Distrik Menjadi Kota Kabupaten. Vol 1 (2), Metahumaniora, 2009, Hal. 200-216.

PENGARUH KOLONIALISME BELANDA TERHADAP PERPINDAHAN IBU KOTA KABUPATEN TASIKMALAYA DARI SUKARAJA KE MANONJAYA TAHUN 1828-1834

Ilham Ramadhan
NPM 222171069

[email protected]

Kabupaten Sukapura yang kemudian berganti nama menjadi Kabupaten Tasikmalaya merupakan sebuah wilayah yang berada di Priangan Timur dengan dikelilingi beberapa kabupaten dalam ruang lingkup kekuasaan Kerajaan Galuh dan Kebataraan Galunggung. Kabupaten Sukapura memiliki akar sejarah yang panjang, dimulai dari masa kebataraan dengan pusat pemerintahan di Galunggung pada abad ke VII hingga abad ke XII. Pada masa tersebut, raja baru dianggap sah apabila mendapatkan persetujuan Batara yang bertahta di Galunggung. Pengaruh kolonial Belanda sangat terasa dalam pembentukan dan perkembangan Kabupaten Sukapura, terutama dalam perubahan ibu kota, kebijakan administratif, dan perkembangan ekonomi di wilayah tersebut.

Belanda membentuk pemerintahan kolonial di wilayah-wilayah yang mereka kuasai, termasuk di Sukapura. Mereka memperkenalkan struktur pemerintahan yang berbeda dan mempengaruhi tata kelola administratif di daerah tersebut. Adapun dalam sistem pengelolaan sumber daya, Belanda menerapkan sistem tanam paksa seperti Preangerstelsel, di mana penduduk lokal diwajibkan untuk menanam tanaman komersial tertentu (seperti kopi) untuk kepentingan kolonial Belanda. Hal ini memengaruhi ekonomi dan sosial masyarakat setempat. Dalam mendukung mobilisasi dan pendistribusian hasil alam, Belanda juga melakukan pembangunan infrastruktur seperti jalan, bangunan publik, dan fasilitas lainnya yang mempengaruhi perkembangan wilayah Sukapura.

Pengaruh kolonial dalam membentuk Kabupaten Sukapura (yang kemudian menjadi Kabupaten Tasikmalaya) terutama terlihat dalam perubahan ibu kota dan kebijakan administratif yang diterapkan oleh pemerintah Kolonial Belanda. Pada masa pemerintahan Wiradadaha VIII, ibu kota Kabupaten Sukapura dipindahkan ke Manonjaya pada tahun 1832 sebagai inisiatif Belanda untuk memperkuat benteng-benteng dalam menghadapi perlawanan Diponegoro. Perpindahan ibu kota ini juga didorong oleh kepentingan ekonomi Belanda, dimana Galunggung yang subur menjadi penghasil nila dan kopi. Ibu kota dipindahkan ke Manonjaya karena posisinya dianggap kurang strategis untuk menjadi pusat pengumpulan hasil perkebunan yang ada di Galunggung.

Manonjaya dipilih sebagai ibu kota baru Sukapura karena daerah tersebut merupakan penghasil nila yang unggul sehingga dapat menutupi minus produksi kopi. Pada saat itu, pemerintah Hindia-Belanda tengah menjalankan Preangerstelsel, di mana setiap daerah harus menyerahkan hasil panen kopi kepada pemerintah Hindia-Belanda. Oleh karena itu, perpindahan ibu kota tersebut bertujuan untuk membudidayakan nila. Sebelumnya, Ibu kota Kabupaten berkedudukan di Pasirpanjang karena di Manonjaya perlu dilakukan pembangunan terlebih dahulu. Persiapan ini meliputi pembangunan infrastruktur dan fasilitas yang diperlukan untuk menjadikan Manonjaya sebagai ibu kota yang layak. Pembangunan kota Manonjaya dilakukan dengan jasa komandan pembangunan, yaitu Raden Tumenggung Danuningrat, adik dari Bupati Sukapura saat itu, Raden Tumenggung Wiradadaha VIII. Pembangunan ini termasuk pembangunan Masjid Agung Manonjaya pada tahun 1880.

Pemindahan ibu kota dilakukan pada tahun 1834 seiring dengan selesainya pembangunan kota Manonjaya. Proses ini melibatkan perubahan status Sukaraja dari ibu kota menjadi distrik di bawah control-afdeeling Mangunreja dan afdeeling Sukapurakolot yang pemerintahannya dipimpin oleh camat. Sementara Manonjaya menjadi ibu kota baru dengan dampak terjadinya mobilitas horizontal dan vertikal di masyarakat[3]. Pemindahan ibu kota mengakibatkan terjadinya mobilitas horizontal, yaitu datangnya orang-orang pemerintah Hindia-Belanda dan masyarakat dari luar daerah Manonjaya. Selain itu, terjadi juga mobilitas vertikal yang ditimbulkan oleh keberadaan pemerintah kolonial Hindia-Belanda sebagai penguasa, yang menciptakan pembagian kelas sosial yang terdiri dari beberapa golongan. Dampak pemindahan ibu kota juga terlihat dalam perubahan struktur sosial masyarakat Manonjaya. Terjadi pembagian kelas sosial yang melibatkan pemerintah kolonial Hindia- Belanda, bangsa Tiongkok, bangsawan pribumi, golongan agama, prajurit, dan rakyat jelata.

Penggunaan nama Tasikmalaya sebagai nama distrik bukan merupakan perubahan dari Distrik Tawang. Pada masa Raffles (1816), di wilayah Priangan terdapat sebuah distrik bernama Cicariang, yang kemudian berubah nama menjadi Distrikt Tasikmalaija op Tjitjariang. Pada akhir tahun 1930-an, nama distrik tersebut berubah lagi menjadi Distrikt Tasikmalaija. Perpindahan ibu kota ini juga melibatkan proses pembangunan dan persiapan sebelum akhirnya Manonjaya diresmikan sebagai ibu kota Kabupaten Sukapura pada tahun 1834. Dengan demikian, Kabupaten Sukapura (Kabupaten Tasikmalaya) memiliki sejarah yang beragam dan dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk kebataraan, kolonialisme Belanda, dan perubahan nama yang mencerminkan perkembangan wilayah tersebut.

Referensi

Emuch Hermansoemantri. Sajarah Sukapura: Sebuah Telaah Filologis. (Jakarta: UI, 1979).

Agus Budiman & Ryan Ardiansyah. Perpindahan Ibukota Kabupaten Sukapura dari Sukaraja Ke Manonjaya serta Dampaknya (1828-1834). 2(1), Jurnal Artefak, 2019, Hal. 77-86.

Riview Buku “Sejarah Dunia Kuno”

Oleh: Fadlan Ihsan Nala

Buku dengan judul “Sejarah Dunia Kuno” karya Syahril Muadz, S.Hum., diterbitkan oleh Anak Hebat Indonesia tahun 2024, dengan tebal 255 halaman.

Kelebihan Buku

Buku ini memiliki kelebihan dalam memberikan informasi sejarah yang komperehensif dan jelas mengenai perkembangan mesopotamia, ditemukannya tulisan yang unik dari berbagai peradaban dan juga pengenalan informasi mengenai pembuatan kalender suku maya.

Kekurangan Buku

Buku ini dalam segi konten masih belum sangat mendalam dari setiap penjelasan bab nya, dari segi kualitas buku ini belum menarik dari desain buku ini dan tulisan nya yang masih berupa tulisan yang biasa, dari segi fisik buku masih belum begitu maksimal dan efektif karena bukunya tipis dan belum lengkap dari materinya.

Alasan Membaca Buku

Saya ingin mendalami dan meningkatkan pemahaman ilmu pengetahuan yang meluas tentang sejarah peradaban dunia dan buku ini memang sebagai buku referensi saya dalam mengerjakan setiap tugas.

Gambaran Umum Isi Buku

Buku ini menceritakan mengenai perkembangan peradaban dari setiap wilayah di dunia seperti perkembangan peradaban mesopotamia, Yunani kuno, Romawi, Afrika kuno, India kuno sampai peradaban mesoamerika. Didalam buku ini memiliki sebuah pemahaman yang sangat tersusun dari sejarah seperti perkembangan bahasa, tulisan, dan arsitektur budaya setiap peradaban. Dengan menjelajahi sejarah dari berbagai wilayah di dunia ini dan buku ini juga menggambarkan fondasi yang membentuk peradaban modern kita.