Surat kabar atau media massa memiliki peran krusial dalam menyebarkan informasi kepada publik luas. Media ini juga menjadi wadah bagi individu untuk mengkomunikasikan ide dan pandangannya. Selain itu, hubungan media dengan politik sangatlah signifikan. Media massa memiliki kemampuan persuasif yang dapat membentuk pandangan umum serta mempengaruhi opini masyarakat terhadap isu-isu sosial dan politik yang sedang berkembang. Oleh karena itu, di Hindia Belanda juga terjadi hubungan yang erat antara pers dengan politik.
Kolonialisme dan imperialisme Belanda dapat memberikan pengaruh yang signifikan terhadap lahir, muncul, dan berkembangnya pers di Tasikmalaya, Jawa Barat pada kurun waktu 1923 hingga 1942. Tahun 1923 menjadi batasan awal temporal karena di tahun tersebut lahirnya pers milik Paguyuban Pasundan yaitu surat kabar Sipatahoenan, kemudian batas akhir dipilih tahun 1942 karena menjadi tahun terakhir penjajahan Belanda di Indonesia.
Awal tarikh abad ke-20 masehi adalah Enlightenment Era karena menjadi titik balik nasib bangsa Indonesia dengan lahirnya kebijakan Politik Etis sebagai awal mula gelombang liberalisasi dan revolusi demokrasi hadir di Hindia Belanda. Politik etis ini tujuan utamanya adalah meningkatkan kesejahteraan serta peningkatan kualitas pendidikan di Hindia Belanda, maka “edukasi” menjadi program utama dalam Politik Etis. Perubahan paling signifikan setelah adanya Politik Etis adalah melahirkan kelas sosial baru yaitu kaum Bumiputra yang terpelajar karena mendapatkan pendidikan ala Barat dari Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Kaum-kaum terpelajar ini memanfaatkan pers untuk menyuarakan perubahan sosial dan politik di Hindia Belanda, khususnya mendorong kemajuan bangsanya, kemerdekaan bangsanya dari belenggu penjajahan.
Kondisi yang terjadi di secara keseluruhan di Hindia Belanda pada kurun waktu 1900-an awal lebih banyak kaum-kaum Bumiputera terpelajar yang membangun organisasi politik dan mendirikan pers untuk menjadi corong dalam menyampaikan aspirasi kepada pemerintah kolonial. Begitu pula dengan apa yang terjadi di Tasikmalaya Jawa Barat mulai muncul banyak koran-koran lokal baik itu yang berbahasa Sunda maupun yang berbahasa Melayu atau Bahasa Indonesia.
Tabel daftar surat kabar yag terbit di Tasikmalaya pada tahun 1920-1930.
Tabel tersebut menerangkan bahwa terdapat 3 surat kabar yang terbit di Tasikmalaya pada kurun waktu 1920-1930 yaitu Sipatahoenan, Langlajang Domas, dan Pekabaran. Surat kabar Sipatahoenan dan Langlayung Domas merupakan surat kabar lokal berbahasa Sunda yang diterbitkan oleh Paguyuban Pasoendan. Paguyuban Pasoendan ini didirikan pada tahun 1914 sebagai wadah perjuangan rakyat Pasundan dengan alasan adanya keprihatinan atas kondisi orang Sunda yang tertinggal jauh oleh etnis lain seperti Jawa dan Melayu. Maka, dengan adanya surat kabar Sipatahoenan di Tasikmalaya ini menjadi wadah paling efektif untuk menyuarakan aspirasi orang-orang Sunda.
Sebenarnya sebelum lahirnya Sipatahoenan, Paguyuban Pasundan pernah menerbitkan majalah bernama Papaes Nonoman pada 1922 yang menjadi media untuk berbagai gagasan maupun pemberitahuan mengenai jalannya organisasi Paguyuban Pasundan. Namun, tidak lama setelah itu adanya kebijakan dari pemerintah kolonial untuk melarang berserikat dan berkumpul, sehingga berimbas pada terhambatnya perjuangan Paguyuban Pasundan. Setelah itu pengurus Paguyuban Pasundan dengan cepat merespon kebijakan pemerintah tersebut dengan mengadakan konferensi guna menerbitkan sebuah surat kabar, maka terciptalah Sipatahoenan pada 20 April 1923 di Tasikmalaya.
Tujuan utama diterbitkannya surat kabar Sipatahoenan bukan semata untuk mendapatkan keuntungan, melainkan karena kebutuhan untuk memiliki suatu wadah agar dapat menyebarluaskan gagasan dan memperbaiki pemikiran masyarakat Sunda kala itu. Melalui Koran Sipatahoenan ini juga lahirlah seorang jurnalis Sunda terkenal asal Tasikmalaya yaitu Sutisna Senjaya yang kini namanya diabadikan sebagai salah satu nama jalan utama di Tasikmalaya. Kiprah Sutisna Senjaya dalam koran Sipatahoenan inilah yang menjadi cikal bakal munculnya kesadaran masyarakat Tasikmalaya akan kemerdekaan Indonesia. Selain di Sipatahoenan, Sutisna Senjaya juga menjadi redaktur di beberapa surat kabar lokal seperti Koran Siliwangi (1921-1922), Langlajang Domas (1927-1928), majalah Al–Mawa’idz, dan majalah Kalawarta Kujang (1956).
Sebenarnya bukan hanya 3 surat kabar itu saja yang terbit di Tasikmalaya, tercatat dalam kurun waktu 1900-1942 surat kabar yang terbit di Tasikmalaya berjumlah sekitar 18 buah. 18 surat kabar tersebut ada yang menggunakan bahasa Sunda ada juga yang menggunakan bahasa Indonesia. Dalam kurun waktu yang sama juga, jumlah majalah yang terbit di Tasikmalaya sebanyak 66 buah. Maka, dengan demikian, Tasikmalaya telah menyumbangkan sekitar 27% kontribusi pers di Jawa Barat. Maka, tidak heran bahwa Tasikmalaya memegang peranan penting dalam pertumbuhan pers di Jawa Barat setelah kota Bandung. Selain itu, jumlah percetakan surat kabar dan majalah di Tasikmalaya juga tidak kalah hebatnya. Tercatat bahwa dari 18 surat kabar tersebut, 14 diantaranya dicetak di Tasikmalaya yaitu tepatnya di percetakan Galoenggoeng, Djoendjoenan, Soekapoera, dan Pemandangan.
Pemerintah kolonial Belanda sangat ketat dalam mengawasi tindak-tanduk pers milik kaum Bumiputera, karena pembahasan pers milik Bumiputera dominan membahas isu tentang kemerdekaan, kebangkitan nasional, kritik terhadap pemerintah, dan kebijakan yang tidak menguntungkan penduduk Bumiputera. Mereka tampil berani menentang pemerintah kolonial karena rata-rata pemimpin redaksinya berkedudukan sebagai anggota Volksraad (parlemen di Hindia Belanda), terutama Sutisna Senjaya yang memiliki perhatian cukup besar terhadap isu-isu politik, kadang juga yang dimuat acapkali hasil-hasil persidangan di Volksraad sehingga masyarakat di Tasikmalaya dapat mengikuti dinamika politik di Hindia Belanda secara aktual.
Lain halnya dengan surat kabar Pekabaran yang lebih bernuansa ekonomi, namun masih berhubungan dengan pergerakan nasional. Misalnya yaitu kebijakan ekonomi di Tatar Priangan yang tidak menguntungkan rakyat Bumiputera karena lebih mementingkan golongan Eropa dan Tionghoa. Ekonomi menjadi pokok pembicaraan utama dalam surat kabar ini karena dilandasi oleh keyakinan “memadjoekan oeroesan economie jang selaloe djadi soeal jang moela-moela dalem riwajat kemadjoeannja sesoeatoe negeri”.
Berdasarkan uraian ringkas di atas, terlihat jelas bahwa situasi politik yang terjadi pada masa kolonial Hindia Belanda sangat mempengaruhi perkembangan pers di Tasikmalaya pada kurun 1920-1942. Hal ini karena turut dipengaruhi oleh adanya kebijakan Politik Etis pada 1901 yang membawa semangat liberalisme dan demokrasi serta berdampak pada lahirnya kelas sosial baru yaitu kaum Bumiputera terpelajar yang membangun organisasi politik dan menerbitkan surat kabar sebagai media menyebarluaskan gagasan mereka. Di Jawa Barat khususnya di Tasikmalaya lahirlah organisasi Paguyuban Pasundan yang dilandasi oleh rasa keprihatinan atas kondisi orang Sunda yang tertinggal jauh oleh etnis lain seperti Jawa da Melayu. Kemudian berkembang membentuk surat kabar Sipatahoenan dan Langlajang Domas untuk memberikan kesadaran berkebangsaan untuk masyarakat Tatar Priangan pada waktu itu.
Referensi
Miftahul Habib Fachrurozi. Politik Etis dan Bangkitnya Kesadaran Baru Pers Bumiputra. Vol 2(1), Bihari, 2019, Hal. 13–25.
Falah, M. Pers Di Kota Tasikmalaya, 1900-1942. Vol 14(2), Sosiohumaniora, 2012, Hal. 116–131.
Ekajati, E. S. Kebangkitan Kembali Orang Sunda: Kasus Paguyuban Pasundan 1913-1918. Kiblat Buku Utama, 2004.
Liani, L. Rubrik Moerangkalih dalam Surat Kabar Sipatahoenan sebagai Sarana Edukasi pada Tahun 1935. Vol 4(1), Historia Madani, 2020.
Cecep Burdansyah. (2009). Buku, Surat Kabar, dan Masyarakat yang Merdeka. Galuhpurba. Com.