Lebaksiuh sebuah desa kecil di kecamatan Culamega Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Jarang orang mengenal serta mengetahui bahwa daerah ini merupakan wilayah penting yang menopang pergerakan perjuangan mempertahankan kedaulatan bangsa Indonesia di tatar Pasundan. Minimnya catatan sejarah yang menulis tentang daerah ini menyebabkan beberapa informasi yang menjelaskan tentang peran penting Lebaksiuh sebagai ibu kota darurat yang digunakan pemerintah Jawa Barat pimpinan Sewaka dalam agresi militer Belanda pada tahun 1947-1948. Terbentuknya Wehrkreise III sebagai wilayah pertahanan Priangan Timur membawa dampak yang cukup besar dalam pertempuran gerilya melawan militer Belanda di Jawa Barat.
Wehrkreise III didirikan sebagai strategi untuk melawan gencarnya serangan militer Belanda di Jawa Barat. Terdiri dari kelompok-kelompok pertahanan yang terdiri dari berbagai lembaga perjuangan di wilayah tersebut. Masing-masing kelompok pertahanan mempunyai kemampuan untuk melakukan perang gerilya secara mandiri melawan kekuatan militer Belanda. Panglima Wehrkreise III tidak hanya membawahi lembaga perjuangan tetapi juga membawahi pemerintahan sipil di Jawa Barat. Struktur desentralisasi ini memungkinkan upaya perlawanan yang lebih efektif dan terkoordinasi terhadap militer Belanda. Kemampuan masing-masing kantong pertahanan untuk melakukan perang gerilya secara mandiri meningkatkan fleksibilitas dan kemampuan beradaptasi dari gerakan perlawanan. Dengan mendesentralisasikan struktur komando dan memberdayakan unit-unit lokal, Wehrkreise III meningkatkan ketahanan dan efektivitas pertempuran gerilya melawan pasukan Belanda di Jawa Barat.
Keputusan pemindahan pusat pemerintahan Jawa Barat ke Lebaksiuh pada tahun 1947-1948 terutama didorong oleh kebutuhan untuk menjamin kelangsungan pemerintahan republik dalam menghadapi agresi militer Belanda. Lebaksiuh dipilih sebagai kawasan yang relatif aman dan tidak terlalu rentan terhadap serangan Belanda, sehingga memungkinkan operasi pemerintahan tetap berjalan di tengah tantangan yang ada. Gubernur Sewaka menghadapi tantangan akibat agresi militer Belanda yang mengakibatkan seringnya terjadi relokasi operasional pemerintahan. Sewaka mendirikan “kantor ambulan” di mana tiga anggota staf menemaninya untuk memastikan pemerintahan yang berkelanjutan meskipun ada ancaman.
Menanggapi serangan Belanda, Sewaka berdiskusi dengan pimpinan militer mengenai strategi perang gerilya di Jawa Barat. Sewaka memindahkan pemerintahan ke berbagai tempat seperti Indihiang, Cikoneng, dan akhirnya ke Lebaksiuh karena meningkatnya aktivitas militer Belanda. Keputusan Sewaka pindah ke Lebaksiuh sangat strategis untuk menjamin kelangsungan pemerintahan republik di Jawa Barat. Meski menghadapi tantangan dalam berkomunikasi dengan daerah lain, khususnya Yogyakarta, Sewaka memanfaatkan taktik Wehrkreise untuk menjaga hubungan.
Masyarakat Lebaksiuh menunjukkan ketahanan yang kuat terhadap agresi Belanda, sehingga berkontribusi terhadap keberhasilan pertahanan wilayah tersebut selama revolusi. Atas dukungan penduduk setempat, Lebaksiuh menjadi ibu kota sementara Jawa Barat selama kurang lebih tujuh bulan pada tahun 1947-1948. Tokoh lokal seperti H. Abdul Hamid memberikan dukungan penting dengan menawarkan penginapan dan perbekalan bagi keluarga dan pengungsi Sewaka. Sewaka menyampaikan pidato yang mengajak rakyat untuk berani mempertahankan kemerdekaan dari serangan Belanda. Meskipun terdapat upaya untuk mempertahankan pemerintahan di Sukaraja, wilayah tersebut ditemukan oleh Belanda, sehingga menyebabkan serangan dan selanjutnya direlokasi ke Karangnunggal.
Lebaksiuh dipilih sebagai pusat pemerintahan Provinsi Jawa Barat pada tahun 1947-1948 karena keadaan khusus dan pertimbangan strategis. Tindakan agresif militer Belanda di Jawa Barat antara tahun 1947-1948 mendorong perlunya relokasi strategis. Gencarnya serangan militer Belanda mengharuskan perpindahan Gubernur Jawa Barat dan Panglima Wehrkreise dari Tasikmalaya ke Lebaksiuh. Lebaksiuh relatif dianggap sebagai daerah yang lebih aman dibandingkan daerah lain di Jawa Barat sehingga menjadi pilihan strategis untuk pusat pemerintahan. Pemilihan Lebaksiuh merupakan langkah proaktif untuk menjamin kelangsungan operasional pemerintahan republik di tengah ancaman militer Belanda. Keputusan pemindahan pusat pemerintahan ke Lebaksiuh terutama bertujuan untuk menjaga dan melestarikan kedudukan Provinsi Jawa Barat. Dengan merelokasi ke Lebaksiuh, Gubernur Jawa Barat mempunyai tujuan untuk mengamankan provinsi dan menegaskan kedaulatan Indonesia dari agresi militer Belanda. Pemerintahan Lebaksiuh berlangsung kurang lebih tujuh bulan, mulai Agustus 1947 hingga Februari 1948, yang menunjukkan keefektifan keputusan relokasi.
Referensi
Alex Anis Ahmad. Pembentukan Wilayah Pertahanan Priangan Timur Dan Perpindahan Ibukota Provinsi Jawa Barat Ke Lebaksiuh Tahun 1947-1948. Vol 1(2), Jasmerah, 2019, Hal. 14-22.