PENDOPO TASIKMALAYA SEBAGAI JEJAK PENINGGALAN KOLONIAL BELANDA DI TASIKMALAYA

Pendopo Tasikmalaya merupakan salah satu saksi bisu perjalanan sejarah panjang yang tak terpisahkan dari masa kolonial Belanda di Indonesia. Sebagai salah satu bangunan administrasi yang dibangun pada masa kolonial, pendopo ini tidak hanya merepresentasikan simbol kekuasaan pemerintah kolonial, tetapi juga menjadi bagian integral dari perkembangan kota Tasikmalaya itu sendiri. Dalam konteks sejarah dan arsitektur, pendopo ini menyimpan jejak penting mengenai hubungan antara kolonialisme dan perkembangan tata kota di daerah Priangan Timur, termasuk Tasikmalaya.

Sejarah Pembangunan Pendopo Tasikmalaya

Pendopo merupakan bangunan khas yang umum dijumpai di Jawa. Pada masa kolonial Belanda, pendopo digunakan sebagai bangunan pemerintahan yang berfungsi untuk mendukung aktivitas administrasi dan sosial. Pendopo Tasikmalaya, yang dibangun pada awal abad ke-20, adalah salah satu contoh nyata dari pengaruh arsitektur kolonial dalam bentuk tradisional Jawa yang mengalami transformasi guna memenuhi kebutuhan kolonial.

Pendopo yang dibangun di daerah-daerah di Jawa pada masa kolonial sering kali memiliki dua fungsi utama. Pertama, sebagai pusat administrasi lokal yang dikendalikan oleh pejabat kolonial atau pribumi yang diangkat oleh pemerintah Belanda. Kedua, sebagai pusat sosial di mana acara-acara kenegaraan dan sosial, seperti pertemuan pejabat dan masyarakat, diselenggarakan. Pendopo Tasikmalaya juga berfungsi sebagai ruang interaksi antara pemerintah dan masyarakat lokal, mengintegrasikan nilai-nilai lokal dengan struktur pemerintahan kolonial.

Lebih lanjut, keberadaan pendopo di Tasikmalaya ini menunjukkan upaya pemerintah kolonial untuk menyelaraskan antara arsitektur tradisional Jawa dengan kebutuhan administrasi mereka. Di dalam konstruksi pendopo, terlihat perpaduan antara elemen arsitektur tradisional dengan inovasi kolonial yang menggabungkan keindahan estetika dan fungsionalitas.

Arsitektur Kolonial dan Nilai Simbolik Pendopo

Pendopo Tasikmalaya, seperti kebanyakan bangunan kolonial lainnya, dibangun dengan menggabungkan elemen-elemen arsitektur lokal dengan desain Eropa. Seperti dijelaskan oleh, arsitektur kolonial di Indonesia sering kali mencerminkan perpaduan budaya yang kompleks. Bangunan kolonial umumnya mengintegrasikan prinsip-prinsip arsitektur Eropa yang fungsional dan modern dengan estetika lokal yang lebih adaptif terhadap iklim tropis. Pendopo Tasikmalaya tidak terkecuali, menggabungkan struktur bangunan terbuka dengan atap joglo khas Jawa dan pondasi yang ditinggikan untuk menghindari masalah kelembaban, namun dengan penggunaan bahan-bahan yang diimpor dari Eropa, seperti kaca dan logam.

Selain dari segi arsitektural, pendopo juga memiliki nilai simbolik yang kuat. Bangunan kolonial, termasuk pendopo, sering kali digunakan sebagai simbol dominasi kolonial atas masyarakat pribumi. Di dalam konteks Tasikmalaya, pendopo ini berfungsi sebagai pusat kekuasaan yang mengatur administrasi daerah sekaligus menegaskan kekuasaan Belanda atas wilayah Priangan Timur. Hal ini terlihat dari tata letak pendopo yang berada di pusat kota, menandakan pentingnya peran bangunan tersebut dalam sistem pemerintahan kolonial.

Pengaruh Kolonial terhadap Perkembangan Kota Tasikmalaya

Pembangunan pendopo di Tasikmalaya tidak bisa dilepaskan dari upaya pemerintah kolonial dalam membangun infrastruktur kota yang mendukung kepentingan ekonomi dan politik mereka. Sebagaimana diungkapkan oleh Budiman (2019), pada masa kolonial, Tasikmalaya mengalami perkembangan pesat sebagai salah satu kota administrasi penting di wilayah Priangan Timur. Infrastruktur yang dibangun oleh Belanda, seperti jalan raya, kantor pemerintahan, dan pendopo, menjadi faktor penting dalam pertumbuhan kota. Pendopo Tasikmalaya menjadi salah satu pusat kegiatan yang melibatkan interaksi antara pemerintah kolonial dan masyarakat lokal.

Selain dari segi arsitektural, pendopo juga memiliki nilai simbolik yang kuat. Bangunan kolonial, termasuk pendopo, sering kali digunakan sebagai simbol dominasi kolonial atas masyarakat pribumi. Di dalam konteks Tasikmalaya, pendopo ini berfungsi sebagai pusat kekuasaan yang mengatur administrasi daerah sekaligus menegaskan kekuasaan Belanda atas wilayah Priangan Timur. Hal ini terlihat dari tata letak pendopo yang berada di pusat kota, menandakan pentingnya peran bangunan tersebut dalam sistem pemerintahan kolonial.

Pengaruh Kolonial terhadap Perkembangan Kota Tasikmalaya

Pembangunan pendopo di Tasikmalaya tidak bisa dilepaskan dari upaya pemerintah kolonial dalam membangun infrastruktur kota yang mendukung kepentingan ekonomi dan politik mereka. Sebagaimana diungkapkan oleh Budiman (2019), pada masa kolonial, Tasikmalaya mengalami perkembangan pesat sebagai salah satu kota administrasi penting di wilayah Priangan Timur. Infrastruktur yang dibangun oleh Belanda, seperti jalan raya, kantor pemerintahan, dan pendopo, menjadi faktor penting dalam pertumbuhan kota. Pendopo Tasikmalaya menjadi salah satu pusat kegiatan yang melibatkan interaksi antara pemerintah kolonial dan masyarakat lokal.

Namun, tidak hanya menjadi bagian dari struktur kolonial, pendopo ini juga menjadi cerminan perubahan sosial di Tasikmalaya. Setelah kemerdekaan Indonesia, fungsi pendopo tidak berubah secara drastis. Bangunan ini tetap digunakan sebagai pusat administrasi daerah dan tempat penyelenggaraan berbagai kegiatan resmi, termasuk perayaan Hari Kemerdekaan dan upacara adat lokal. Perubahan fungsi dari pendopo sebagai bangunan kolonial menjadi bangunan pemerintah Indonesia menunjukkan transformasi simbolik dari kekuasaan kolonial menuju kekuasaan nasional.

Hingga saat ini, Pendopo Tasikmalaya masih berdiri kokoh sebagai salah satu bangunan yang dilindungi oleh pemerintah setempat. Pemeliharaan bangunan ini menunjukkan kesadaran akan pentingnya warisan budaya dan sejarah bagi perkembangan kota. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Tasikmalaya, pendopo ini tidak hanya dilihat sebagai bangunan sejarah, tetapi juga sebagai pusat kegiatan sosial dan budaya.

Namun, meskipun bangunan ini terus dipertahankan, tantangan untuk menjaga keaslian arsitektur kolonial tetap ada. Modernisasi yang terjadi di sekitar pendopo membuat perubahan tata kota Tasikmalaya menjadi lebih dinamis. Keterbukaan terhadap perubahan yang adaptif tanpa merusak nilai historis bangunan menjadi perhatian utama dalam setiap upaya restorasi yang dilakukan. Pendopo Tasikmalaya adalah salah satu peninggalan kolonial yang hingga saat ini masih memainkan peran penting dalam kehidupan sosial dan pemerintahan di Tasikmalaya. Sebagai bangunan yang memiliki nilai historis dan simbolik, pendopo ini mencerminkan perpaduan antara arsitektur lokal dan kolonial serta menjadi bukti nyata dari perjalanan sejarah panjang yang dialami oleh Tasikmalaya. Selain menjadi simbol kekuasaan kolonial, pendopo ini juga menjadi saksi dari proses transformasi kota dari masa kolonial hingga era kemerdekaan. Pemeliharaan dan pelestarian Pendopo Tasikmalaya merupakan bentuk penghargaan terhadap warisan sejarah dan budaya yang perlu terus dijaga.

ISLAMISASI PAMIJAHAN OLEH SYEKH ABDUL MUHYI MELALUI ‘MARTABAT KANG PITUTU’ MASA KOLONIAL BELANDA

Syekh Abdul Muhyi merupakan salah satu ulama besar yang berperan penting dalam penyebaran Islam di Pamijahan, Tasikmalaya, melalui ajaran tasawuf. Lahir di Mataram, beliau memiliki garis keturunan dari Nabi Muhammad Saw melalui kedua orang tua nya. Syekh Abdul Muhyi memulai perjalanan intelektual nya di Gresik sebelum melanjutkan pendidikan agama di Aceh selama delapan tahun (1090-1098 M). Setelah itu, ia melanjutkan ke Baghdad untuk berziarah ke makam Syekh Abdul Qadir al-Jailani, lalu kembali ke Jawa dengan tujuan menyebarkan ajaran Islam.

Setibanya di Jawa Barat, Syekh Abdul Muhyi menyebarkan ajaran Islam di beberapa daerah seperti Darma Kuningan dan Pameungpeuk. Di Pamijahan, ia menghadapi berbagai tantangan, terutama dari kalangan dukun yang menolak ajaran baru ini. Namun, pendekatan tasawuf yang digunakan, yang mengakomodasi kepercayaan lokal, berhasil memenangkan hati masyarakat setempat.

Ajaran Tasawuf Martabat Kang Pitutu 

Syekh Abdul Muhyi dikenal dengan ajaran Martabat Kang Pitutu, yang didasarkan pada konsep tasawuf Martabat Tujuh. Ajaran ini berfokus pada penyatuan manusia dengan Tuhan dalam kerangka Wahdatul Wujud. Martabat Tujuh merupakan ajaran sufi yang dipopulerkan oleh Muhammad Fadlullah al-Burhanpuri melalui kitab Al-Tuhfah al-Mursalah ila Ruhi an-Nabi. Konsep ini dikembangkan oleh ulama sufi di Aceh pada abad ke-17 dan diteruskan oleh Syekh Abdul Muhyi di Jawa Barat.

Ajaran Martabat Kang Pitutu terbagi menjadi tujuh alam: Ahadiyah, Wahdah, Wahidiyah, Arwah, Mistal, Ajsam, dan Jami’ah. Setiap alam ini menjelaskan tahapan penciptaan dan perjalanan spiritual manusia menuju kesempurnaan. Misalnya, Alam Ahadiyah adalah tingkat wujud tertinggi yang terbebas dari segala sifat dan ikatan duniawi, sedangkan Alam Jami’ah merupakan penyempurnaan dari seluruh ruh yang telah menjalani proses spiritual hingga mencapai Insan Kamil (manusia sempurna).

Peran Syekh Abdul Muhyi dalam Pergerakan Islam

Selain menyebarkan ajaran Martabat Kang Pitutu, Syekh Abdul Muhyi juga berperan penting dalam mengislamkan masyarakat Pamijahan. Ajaran sufisme yang ia bawa diterima dengan baik karena mengintegrasikan elemen-elemen budaya lokal, memudahkan penerimaan Islam oleh masyarakat yang sebelumnya memeluk agama Hindu atau kepercayaan lokal. 

Islamisasi ini tidak hanya menyentuh aspek spiritual, tetapi juga menciptakan kesadaran kolektif untuk melawan ketidakadilan dan berjuang di jalan Allah.

Islamisasi di Pamijahan oleh Syekh Abdul Muhyi dalam Konteks Kolonial Belanda

Syekh Abdul Muhyi memainkan peran penting dalam penyebaran ajaran Islam di Tasikmalaya, khususnya di Pamijahan, di tengah-tengah kekuasaan kolonial Belanda. Pada abad ke-17, Belanda mulai memperkuat cengkeraman mereka di Pulau Jawa setelah mendirikan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) pada tahun 1602. Pada masa itu, Belanda terlibat dalam berbagai perjanjian politik dengan kerajaan-kerajaan lokal dan mengawasi perdagangan, sehingga membawa dampak besar terhadap kehidupan sosial dan ekonomi di wilayah tersebut.

Meskipun Belanda secara politik mengontrol sebagian besar wilayah Jawa, mereka masih menghadapi tantangan dalam mengendalikan wilayah pedalaman seperti Tasikmalaya. Pada saat itu, ajaran Islam dan tasawuf menjadi alternatif spiritual dan sosial yang menguat di masyarakat. Syekh Abdul Muhyi, dengan ajaran tasawuf nya yang dikenal sebagai Martabat Kang Pitutu, berhasil mendapatkan tempat di hati masyarakat karena pendekatannya yang inklusif dan damai, berbeda dengan pendekatan kolonial yang lebih represif.

Peran Syekh Abdul Muhyi dalam Membangun Kesadaran Melawan Kolonialisme

Islamisasi yang dilakukan oleh Syekh Abdul Muhyi tidak hanya fokus pada aspek spiritual, tetapi juga mendorong masyarakat untuk menyadari hak-hak mereka di bawah penjajahan. Pada masa itu, Tasikmalaya merupakan salah satu wilayah yang dilanda ketimpangan sosial akibat kebijakan ekonomi kolonial yang memaksa rakyat untuk mematuhi sistem tanam paksa dan pajak yang tinggi. Syekh Abdul Muhyi mengajarkan pentingnya persatuan dan keteguhan iman dalam menghadapi ketidakadilan, yang menjadi kekuatan pendorong bagi masyarakat lokal untuk melawan penindasan kolonial. Selain menyebarkan ajaran Islam, Syekh Abdul Muhyi juga memainkan peran penting dalam membangun jaringan sosial yang menghubungkan para pemimpin lokal dengan komunitas Muslim di wilayah lainnya. Jaringan ini, yang sebagian besar terhubung melalui kegiatan agama, membantu memperkuat solidaritas masyarakat dalam menghadapi pengaruh Kolonialisme Belanda.


Referensi

Iffan Ahmad Gufron, Mukhtasar Syamsuddin, dan Arqom Kuswanjono. Makna Martabat Pitu dalam Perspektif Filsafat. Perpustakaan UGM, 2017, Hal. 5-6.

Ajaran Martabat Tujuh pertama kali dipopulerkan oleh Muhammad Fadlullah al-Burhanpuri dan dikembangkan oleh Syekh Abdul Muhyi di Pamijahan. Lihat Ibid., hlm. 8.

LEBAKSIUH: IBU KOTA DARURAT JAWA BARAT TAHUN 1947-1948

Lebaksiuh sebuah desa kecil di kecamatan Culamega Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Jarang orang mengenal serta mengetahui bahwa daerah ini merupakan wilayah penting yang menopang pergerakan perjuangan mempertahankan kedaulatan bangsa Indonesia di tatar Pasundan. Minimnya catatan sejarah yang menulis tentang daerah ini menyebabkan beberapa informasi yang menjelaskan tentang peran penting Lebaksiuh sebagai ibu kota darurat yang digunakan pemerintah Jawa Barat pimpinan Sewaka dalam agresi militer Belanda pada tahun 1947-1948. Terbentuknya Wehrkreise III sebagai wilayah pertahanan Priangan Timur membawa dampak yang cukup besar dalam pertempuran gerilya melawan militer Belanda di Jawa Barat.

Wehrkreise III didirikan sebagai strategi untuk melawan gencarnya serangan militer Belanda di Jawa Barat. Terdiri dari kelompok-kelompok pertahanan yang terdiri dari berbagai lembaga perjuangan di wilayah tersebut. Masing-masing kelompok pertahanan mempunyai kemampuan untuk melakukan perang gerilya secara mandiri melawan kekuatan militer Belanda. Panglima Wehrkreise III tidak hanya membawahi lembaga perjuangan tetapi juga membawahi pemerintahan sipil di Jawa Barat. Struktur desentralisasi ini memungkinkan upaya perlawanan yang lebih efektif dan terkoordinasi terhadap militer Belanda. Kemampuan masing-masing kantong pertahanan untuk melakukan perang gerilya secara mandiri meningkatkan fleksibilitas dan kemampuan beradaptasi dari gerakan perlawanan. Dengan mendesentralisasikan struktur komando dan memberdayakan unit-unit lokal, Wehrkreise III meningkatkan ketahanan dan efektivitas pertempuran gerilya melawan pasukan Belanda di Jawa Barat.

Keputusan pemindahan pusat pemerintahan Jawa Barat ke Lebaksiuh pada tahun 1947-1948 terutama didorong oleh kebutuhan untuk menjamin kelangsungan pemerintahan republik dalam menghadapi agresi militer Belanda. Lebaksiuh dipilih sebagai kawasan yang relatif aman dan tidak terlalu rentan terhadap serangan Belanda, sehingga memungkinkan operasi pemerintahan tetap berjalan di tengah tantangan yang ada. Gubernur Sewaka menghadapi tantangan akibat agresi militer Belanda yang mengakibatkan seringnya terjadi relokasi operasional pemerintahan. Sewaka mendirikan “kantor ambulan” di mana tiga anggota staf menemaninya untuk memastikan pemerintahan yang berkelanjutan meskipun ada ancaman.

Menanggapi serangan Belanda, Sewaka berdiskusi dengan pimpinan militer mengenai strategi perang gerilya di Jawa Barat. Sewaka memindahkan pemerintahan ke berbagai tempat seperti Indihiang, Cikoneng, dan akhirnya ke Lebaksiuh karena meningkatnya aktivitas militer Belanda. Keputusan Sewaka pindah ke Lebaksiuh sangat strategis untuk menjamin kelangsungan pemerintahan republik di Jawa Barat. Meski menghadapi tantangan dalam berkomunikasi dengan daerah lain, khususnya Yogyakarta, Sewaka memanfaatkan taktik Wehrkreise untuk menjaga hubungan.

Masyarakat Lebaksiuh menunjukkan ketahanan yang kuat terhadap agresi Belanda, sehingga berkontribusi terhadap keberhasilan pertahanan wilayah tersebut selama revolusi. Atas dukungan penduduk setempat, Lebaksiuh menjadi ibu kota sementara Jawa Barat selama kurang lebih tujuh bulan pada tahun 1947-1948. Tokoh lokal seperti H. Abdul Hamid memberikan dukungan penting dengan menawarkan penginapan dan perbekalan bagi keluarga dan pengungsi Sewaka. Sewaka menyampaikan pidato yang mengajak rakyat untuk berani mempertahankan kemerdekaan dari serangan Belanda. Meskipun terdapat upaya untuk mempertahankan pemerintahan di Sukaraja, wilayah tersebut ditemukan oleh Belanda, sehingga menyebabkan serangan dan selanjutnya direlokasi ke Karangnunggal.

Lebaksiuh dipilih sebagai pusat pemerintahan Provinsi Jawa Barat pada tahun 1947-1948 karena keadaan khusus dan pertimbangan strategis. Tindakan agresif militer Belanda di Jawa Barat antara tahun 1947-1948 mendorong perlunya relokasi strategis. Gencarnya serangan militer Belanda mengharuskan perpindahan Gubernur Jawa Barat dan Panglima Wehrkreise dari Tasikmalaya ke Lebaksiuh. Lebaksiuh relatif dianggap sebagai daerah yang lebih aman dibandingkan daerah lain di Jawa Barat sehingga menjadi pilihan strategis untuk pusat pemerintahan. Pemilihan Lebaksiuh merupakan langkah proaktif untuk menjamin kelangsungan operasional pemerintahan republik di tengah ancaman militer Belanda. Keputusan pemindahan pusat pemerintahan ke Lebaksiuh terutama bertujuan untuk menjaga dan melestarikan kedudukan Provinsi Jawa Barat. Dengan merelokasi ke Lebaksiuh, Gubernur Jawa Barat mempunyai tujuan untuk mengamankan provinsi dan menegaskan kedaulatan Indonesia dari agresi militer Belanda. Pemerintahan Lebaksiuh berlangsung kurang lebih tujuh bulan, mulai Agustus 1947 hingga Februari 1948, yang menunjukkan keefektifan keputusan relokasi.


Referensi

Alex Anis Ahmad. Pembentukan Wilayah Pertahanan Priangan Timur Dan Perpindahan Ibukota Provinsi Jawa Barat Ke Lebaksiuh Tahun 1947-1948. Vol 1(2), Jasmerah, 2019, Hal. 14-22.

MEMORI RASA: JEJAK MAKANAN LEGENDARIS NASI TUTUG ONCOM DI TASIKMALAYA (1940)

Nasi tutug oncom merupakan salah satu kuliner khas Tasikmalaya yang sudah menjadi budaya makan masyarakat Sunda sejak era 1940-an. Tutug oncom tidak hanya menawarkan cita rasa yang unik dan menggugah selera, tetapi juga menyimpan sejarah yang menarik serta nilai gizi yang tinggi.

Sejarah nasi tutug oncom sudah dikonsumsi masyarakat Sunda sejak sebelum kemerdekaan Indonesia. Pada era 1940-an, ketika Indonesia masih dijajah dan menghadapi krisis ekonomi yang berat, nasi tutug oncom hadir sebagai solusi pangan yang terjangkau bagi masyarakat Sunda menengah ke bawah. Hidangan ini menjadi bukti kreativitas masyarakat Sunda dalam menghadapi kesulitan ekonomi dengan memanfaatkan bahan-bahan sederhana yang tersedia.

Nama “tutug oncom” berasal dari bahasa Sunda. “Tutug” yang artinya tumbuk sebagai proses pengolahan oncom yang ditumbuk atau dihaluskan sebelum diolah dan dicampur dengan nasi. Sementara kata “oncom” merupakan bahan baku berupa produk fermentasi yang biasanya terbuat dari ampas kacang tanah, ampas tahu, ampas kedelai, atau ampas kelapa. Kombinasi nasi dengan oncom yang ditumbuk ini menciptakan rasa yang khas dan unik, sehingga nasi tutug oncom ini digemari oleh masyarakat Sunda.

Nasi tutug oncom merupakan perpaduan nasi putih yang telah dimasak yang dicampurkan dengan oncom, oncom yang digunakan telah disangrai hingga kering kemudian ditumbuk dan dihaluskan. Perpaduan kedua bahan ini menciptakan tekstur dan rasa yang khas.

Penyajian nasi tutug oncom akan semakin lezat dengan ditambahkan sambal dan lalapan sayur segar. Kombinasi ini tidak hanya menambah cita rasa, tetapi juga meningkatkan nilai gizi pada tutug oncom. Lauk-pauk tambahan seperti ikan asin, tempe goreng, atau ayam goreng juga cocok menjadi pelengkap hidangan.

 Nasi tutug oncom paling nikmat disantap selagi hangat. Kondisi nasi yang hangat akan memberikan aroma khas oncom yang menggugah selera. Tekstur nasi yang lembut dipadukan dengan oncom yang sedikit kasar memberikan sensasi yang unik di mulut.

Meskipun terbuat dari bahan-bahan yang sederhana, nasi tutug oncom memiliki kandungan gizi yang tinggi. Oncom yang terbuat dari hasil fermentasi yang mengandung protein tinggi dan rendah lemak yang menjadikannya pilihan yang baik untuk menjaga asupan protein dengan lemak yang rendah.

Oncom mengandung genistein, genistein merupakan senyawa isoflavon yang berfungsi sebagai antioksidan yang kuat bagi tubuh. Penelitian menunjukkan bahwa genistein berpotensi mengurangi risiko kanker. Antioksidan ini melindungi sel-sel tubuh dari kerusakan akibat radikal bebas yang dapat memicu pertumbuhan sel kanker.

Selain protein dan antioksidan, oncom juga mengandung mineral penting seperti kalium, fosfor, dan zat besi. Kalium berperan penting dalam menjaga kesehatan jantung dan tekanan darah, fosfor penting untuk kesehatan tulang dan gigi, sementara zat besi sangat diperlukan untuk produksi sel darah merah dan pencegahan anemia.

Kombinasi nasi dengan oncom juga menciptakan perpaduan karbohidrat yang kompleks. Karbohidrat yang terkandung pada nasi menghasilkan energi bagi tubuh, sementara serat dari oncom membantu memperlambat penyerapan gula darah, menciptakan rasa kenyang yang lebih lama. Sehingga nasi tutug oncom cocok untuk mengendalikan nafsu makan dan membantu berat badan supaya lebih ideal.

Nasi tutug oncom merupakan salah satu cerminan kearifan lokal masyarakat Sunda. Kemampuan untuk mengolah bahan-bahan sederhana menjadi makanan yang lezat dan bergizi menunjukkan kreativitas dan kemampuan adaptasi masyarakat Sunda dalam menghadapi tantangan ekonomi.

Nasi tutug oncom berkembang dari zaman ke zaman sampai saat ini dan menjadi ikon kuliner Kota Tasikmalaya bahkan Provinsi Jawa Barat secara umum. Nasi tutug oncom tidak hanya populer di kalangan masyarakat lokal, tetapi juga menarik minat wisatawan yang ingin mencicipi autentisitas kuliner Sunda. Banyak rumah makan yang menjadikan nasi tutug oncom ini sebagai menu andalan, hal ini juga membantu kelestarian warisan kuliner ini sekaligus mendukung ekonomi lokal.

Meskipun memiliki sejarah panjang dan nilai gizi yang tinggi, nasi tutug oncom menghadapi tantangan dalam era modern. Perubahan gaya hidup dan preferensi makanan, terutama di kalangan generasi muda, dapat mengancam keberlanjutan kuliner tradisional ini. Diperlukan upaya kreatif untuk memperkenalkan nasi tutug oncom kepada generasi saat ini, salah satunya dengan presentasi yang lebih modern atau fusion dengan elemen kuliner kekinian, tanpa menghilangkan esensi dan nilai tradisional nya.

Di sisi lain, tren kembali ke makanan tradisional dan kesadaran akan pentingnya konsumsi makanan lokal yang sehat membuka peluang baru bagi nasi tutug oncom. Dengan kandungan gizi yang baik dan makanan yang ramah lingkungan (mengingat penggunaan bahan-bahan lokal dan proses fermentasi yang berkelanjutan), nasi tutug oncom memiliki potensi untuk diposisikan sebagai pilihan makanan sehat dan berkelanjutan.

Nasi tutug oncom lebih dari sekadar hidangan makanan, tutug oncom juga merupakan warisan kuliner yang mempunyai sejarah, kreativitas, dan kearifan lokal masyarakat Sunda. Dari asal-usulnya sebagai makanan sederhana di masa sulit hingga statusnya saat ini sebagai ikon kuliner Tasikmalaya. Nasi tutug oncom telah membuktikan daya tahannya terhadap perubahan zaman. Dengan nilai gizi yang tinggi dan cita rasa yang khas, hidangan ini tidak hanya memberikan rasa yang lezat tetapi juga memberikan manfaat kesehatan. Melestarikan dan mengembangkan nasi tutug oncom bukan hanya tentang mempertahankan tradisi, tetapi juga tentang menghargai kekayaan kuliner Indonesia dan potensinya dalam menyediakan pilihan makanan yang sehat dan berkelanjutan bagi generasi mendatang.


Referensi

Asjun, “Tutug Oncom dan Kekayaan Nilai yang Dikandungnya,” Satu guru, mengajar itu menyenangkan, 1 Oktober 2023. https://satuguru.id/ragam/ragam-budaya/tutug-oncom-dan-kekayaan-nilai-yang-dikandungnya/

Dheni Harmaen, Keberagaman dan Kearifan Lokal dalam Komunikasi Budaya Jawa Barat. Vol 3 (2), Linimasa: Jurnal Ilmu Komunikasi, 2020, Hal. 69.

Muammar Fawwaz, Ayu Natalisnawatı, dan Muzakkır. Kadar Isoflavon Aglikon pada Ekstrak Susu Kedelai dan Tempe. Vol 6(3), Industria: Jurnal Teknologi dan Manajemen Agroindustri, 2017.

Admin. Oncom, Produk Samping (By-Products) dengan Kadar Gizi Tinggi. Diakses pada 7 November 2018. Dari https://kanalpengetahuan.tp.ugm.ac.id/menara-ilmu/2018/1335-oncom-produk-samping-by-products-dengan-kadar-gizi-tinggi.html

PERJUANGAN KH. RUHIAT DI TASIKMALAYA MASA PENJAJAHAN BELANDA SAMPAI AWAL KEMERDEKAAN (1930-1949)

KH. Ruhiat adalah seorang kiai yang memiliki peran sentral dalam masyarakat Islam di Tasikmalaya. Sebagai seorang kiai, ia tidak hanya dikenal karena kedalaman ilmu agamanya, tetapi juga karena akhlaknya yang mulia dan kemampuannya dalam membimbing umat. Dalam masyarakat Islam di Indonesia, khususnya di daerah Sunda, kiai atau ajengan seperti K.H. Ruhiat sering dianggap sebagai tokoh kewahyuan yang mampu menjelaskan teologi yang kompleks dengan cara yang mudah dipahami oleh masyarakat, terutama para petani dan kaum awam. Kehadiran kiai seperti K.H. Ruhiat memberikan panduan moral dan spiritual yang sangat penting di tengah-tengah kehidupan sehari-hari masyarakat, menjadikan mereka sebagai sosok yang dihormati dan diikuti.

Kontribusi K.H. Ruhiat terhadap pendidikan Islam terlihat jelas melalui pendirian dan pengembangan Pondok Pesantren Cipasung. Pada tahun 1931, K.H. Ruhiat mendirikan pesantren ini dengan tujuan untuk menyebarkan ilmu agama Islam dan membina moral umat. Pesantren ini dimulai dengan hanya 40 santri, namun berkat dedikasi dan kepemimpinan K.H. Ruhiat, jumlah santri terus bertambah. K.H. Ruhiat tidak hanya mengajarkan ilmu agama, tetapi juga menekankan pentingnya pendidikan formal. Beliau menyadari bahwa untuk menghadapi tantangan zaman, santri harus memiliki pengetahuan yang luas, termasuk dalam bidang ilmu pengetahuan umum.

K.H. Ruhiat adalah seorang kiai yang berpikiran progresif. Meskipun beliau sangat memegang teguh tradisi, K.H. Ruhiat juga melihat pentingnya adaptasi dengan perubahan zaman. Beliau berpendapat bahwa santri harus menguasai ilmu pengetahuan umum selain ilmu agama, karena kedua aspek ini saling melengkapi dalam menghadapi tantangan modernitas. Pandangan ini tercermin dalam pendirian Madrasah Ibtidaiyah, Sekolah Menengah Pertama Islam (SMPI), dan kemudian Sekolah Menengah Atas Islam (SMAI) serta Institut Agama Islam Cipasung (IAIC). Melalui institusi-institusi ini, K.H. Ruhiat memberikan kontribusi yang signifikan dalam memajukan pendidikan Islam yang holistik, yang tidak hanya berfokus pada aspek spiritual tetapi juga intelektual.

K.H. Ruhiat memulai upaya mendirikan Pondok Pesantren Cipasung pada tahun 1931 di Desa Cipakat, Kecamatan Singaparna, Kabupaten Tasikmalaya. Dengan hanya 40 santri pada awalnya, K.H. Ruhiat bertekad untuk menciptakan lembaga pendidikan yang mampu memberikan pendidikan agama yang mendalam sekaligus mempersiapkan generasi muda menghadapi tantangan zaman. Dalam kurikulum pesantren, ia tidak hanya fokus pada pengajaran kitab kuning dan ilmu agama, tetapi juga menekankan pentingnya keterampilan dan pengetahuan praktis yang bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari. Selain itu, pesantren ini juga mengadakan pengajian sore khusus bagi ibu-ibu dan pengajian rutin untuk alim ulama, menunjukkan komitmen K.H. Ruhiat untuk memberdayakan seluruh lapisan masyarakat.

Selama masa penjajahan Belanda dan Jepang, K.H. Ruhiat menghadapi berbagai tantangan dalam mengembangkan pesantrennya. Mendirikan dan mengembangkan pesantren dalam situasi yang penuh tekanan dari penjajah bukanlah tugas yang mudah. Selain harus berhadapan dengan kebijakan penjajah yang represif, K.H. Ruhiat juga harus menghadapi ketidakpahaman dan kurangnya dukungan dari sebagian masyarakat lokal yang belum sepenuhnya menerima pendidikan Islam. Namun, dengan semangat dan tekad yang kuat, K.H. Ruhiat terus mengembangkan pesantren ini. Beliau melakukan berbagai strategi untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas pendidikan di Cipasung, termasuk dengan menjalin hubungan baik dengan ulama-ulama lain dan masyarakat sekitar untuk mendapatkan dukungan moral dan material.

Perjuangan K.H. Ruhiat dalam mendirikan dan mengembangkan Pondok Pesantren Cipasung membawa dampak yang signifikan bagi pendidikan Islam di Indonesia, khususnya di Tasikmalaya. Pondok Pesantren Cipasung yang awalnya dimulai dengan hanya 40 santri, berkembang menjadi salah satu pusat pendidikan Islam yang penting di wilayah tersebut. K.H. Ruhiat menekankan pentingnya memadukan ilmu agama dengan ilmu pengetahuan umum, sehingga lulusannya tidak hanya menguasai ajaran agama tetapi juga siap menghadapi tantangan zaman. Hal ini membuat Pondok Pesantren Cipasung menjadi contoh bagi banyak pesantren lain di Indonesia yang kemudian mengadopsi pendekatan pendidikan yang holistik ini.

Salah satu dampak besar dari perjuangan K.H. Ruhiat adalah meningkatnya kesadaran dan apresiasi masyarakat terhadap pentingnya pendidikan. Dengan mendirikan berbagai lembaga pendidikan formal seperti Madrasah Ibtidaiyah, Sekolah Menengah Pertama Islam (SMPI), Sekolah Menengah Atas Islam (SMAI), dan Institut Agama Islam Cipasung (IAIC), K.H. Ruhiat memberikan akses pendidikan yang lebih luas kepada masyarakat sekitar. Institusi-institusi ini tidak hanya mencetak lulusan yang berpengetahuan luas, tetapi juga membentuk generasi yang berakhlak mulia dan berkomitmen terhadap nilai-nilai keislaman. Selain itu, para lulusan dari pesantren dan sekolah-sekolah tersebut banyak yang kemudian menjadi tokoh penting di berbagai bidang, baik di tingkat lokal maupun nasional, yang terus melanjutkan perjuangan K.H. Ruhiat dalam memajukan pendidikan dan agama.

Warisan K.H. Ruhiat juga tercermin dalam keberlanjutan pesantrennya yang kini diteruskan oleh generasi berikutnya. Anak dan cucu K.H. Ruhiat melanjutkan perjuangan beliau dengan mengembangkan Pondok Pesantren Cipasung dan lembaga-lembaga pendidikan lainnya. K.H. Ilyas Ruhiat, salah satu putranya, menjadi tokoh penting dalam melanjutkan visi dan misi K.H. Ruhiat, memastikan bahwa pesantren tetap relevan dan adaptif terhadap perubahan zaman. Peran aktif keluarga K.H. Ruhiat dalam mengelola dan mengembangkan pesantren ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh dan inspirasi K.H. Ruhiat, yang terus hidup dan berkembang meskipun beliau telah tiada.

Lebih jauh lagi, kontribusi K.H. Ruhiat dalam bidang sosial dan keagamaan juga meninggalkan jejak yang mendalam. Keterlibatannya dalam organisasi Nahdlatul Ulama (NU) dan aktivitas dakwahnya di berbagai daerah menunjukkan komitmennya dalam memperjuangkan nilai-nilai Islam dan kemerdekaan Indonesia. K.H. Ruhiat tidak hanya menjadi panutan dalam bidang pendidikan, tetapi juga sebagai pemimpin yang berani menghadapi tantangan dan tekanan dari penjajah. Semangat nasionalisme dan keagamaan yang ia tanamkan tetap hidup dalam hati masyarakat Tasikmalaya dan sekitarnya, menjadi inspirasi bagi banyak orang dalam perjuangan mereka untuk membangun bangsa yang lebih baik. Dengan demikian, warisan K.H. Ruhiat tidak hanya tercermin dalam fisik lembaga-lembaga pendidikan yang didirikannya, tetapi juga dalam semangat dan nilai-nilai yang ia ajarkan dan wariskan kepada generasi berikutnya.


Referensi

Ananda Muhammad Firdaus. (2020). Mengenal Kiai Ilyas Ruhiat yang Karismatik dari Cipasung. Diakses pada 20 Januari 2020. Dari https://www.ayotasik.com/explore-tasik/pr-33849086/Mengenal-Kiai-Ilyas-Ruhiat-yang-Karismatik-dari-Cipasung

Agung Sasongko. (2018). Mengenang Perjuangan Kiai Ruhiat di Cipasung. Diakses pada 29 Agustus 2018. dari https://khazanah.republika.co.id/berita/pe7e91313/mengenang-perjuangan-kiai-ruhiat-di-cipasung

Abun Bunyamin Ruhiat. (2022). Riwayat Perjuangan Abah Ruhiat Cipasung. Diakses pada 11 November 2022. dari https://jabar.nu.or.id/tokoh/riwayat-perjuangan-abah-ruhiat-cipasung-OnaUc

Ahmad Fikri Nabil. (2016). Sejarah Singkat Perjuangan KH. Ilyas Ruhiat Dalam Membina Pospes Cipasung. Diakses pada 29                 Januari 2016. Dari https://abatasacomunityy.blogspot.com/2016/01/sejarah-singkat-perjuangan-kh-ilyas.html

Budi. (2023). Biografi KH. Ruhiat, Pendiri Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya. Diakses pada 28 November 2023. Dari https://www.laduni.id/post/read/58605/biografi-kh-ruhiat-pendiri-pondok-pesantren-cipasung-tasikmalaya.html

PERJUANGAN KH. ZAINAL MUSTHAFA DALAM MEMPERJUANGKAN KEMERDEKAAN INDONESIA DI TASIKMALAYA TAHUN 1927-1944

KH. Zainal Musthafa merupakan seorang ulama dan pahlawan nasional Indonesia yang sangat dihormati. Beliau lahir di Bageur, Cimerah, Singaparna, Tasikmalaya, pada tanggal 1 Januari 1899 dengan nama Umri, yang kemudian berganti nama menjadi Hudaemi.  Sejak kecil, beliau menunjukkan kecerdasan dan kegemaran mendalami ilmu agama. Beliau juga dikenal sebagai pendiri Pesantren Sukamanah, Tasikmalaya, dan pelopor perlawanan santri di Jawa Barat. KH. Zainal Musthafa dibesarkan di lingkungan pesantren. Beliau bukan seorang keturunan Kiai, orang tuanya hanya orang biasa. Ibunya bernama Ratmah, dan ayahnya bernama Nawafi. Mereka berdua petani, menjalani kehidupan yang sederhana. Satu-satunya sekolah yang diikuti KH Zainal Musthafa adalah Sekolah Rakyat (SR). Beliau kemudian membuat keputusan untuk membantu orang tuanya dalam menggembalakan bebek di sawah sebelum kemudian mendaftar di sebuah pesantren.

Di beberapa pondok pesantren di Jawa Barat, ia mencari pendidikan Islam. Beliau melanjutkan pendidikannya di berbagai pesantren ternama di Jawa Barat. Pada tahun 1919, di usia yang masih muda, KH. Zainal Musthafa mendirikan Pesantren Sukamanah di kampung halamannya. Pesantren ini berkembang pesat dan menjadi salah satu pusat pendidikan Islam ternama di Jawa Barat. Beliau tidak hanya mengajar ilmu agama, tetapi juga menanamkan semangat nasionalisme dan kemerdekaan kepada para santrinya. Bahkan setelah belajar di bawah banyak kiai dan diberbagai pesantren, Zainal Musthafa bukanlah orang yang bisa berpuas diri.

Pada sekitar tahun 1922-1927, beliau membuat keputusan untuk menyelesaikan pendidikannya di Mekkah. Pada tahun 1927, beliau menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Kemudian kembalinya ke Indonesia, beliau mulai aktif dalam kegiatan dakwah dan perjuangan melawan penjajah. Dari situlah gelar Kiai Haji diperoleh, termasuk nama yang melekat sampai saat ini yaitu KH. Zainal Musthafa. Beliau menentang keras kolonialisme Belanda dan Jepang, dan menyerukan perlawanan rakyat untuk meraih kemerdekaan. Pada tahun 1941, beliau memimpin perlawanan rakyat Singaparna melawan penjajah Jepang, yang dikenal sebagai Peristiwa Singaparna.

Peran K.H. Zainal Musthafa dalam Kemerdekaaan Indonesia

K.H. Zainal Mustafa mendirikan Pesantren Sukamanah di Cipatujang, Tasikmalaya pada tahun 1927. Pesantren ini menjadi pusat pendidikan Islam dan pengembangan semangat nasionalisme di Tasikmalaya. Beliau menggabungkan pendidikan agama dengan pendidikan umum, menanamkan nilai-nilai kebangsaan dan kemerdekaan kepada para santrinya. Pada tahun 1927-1944 K.H. Zainal Mustafa aktif dalam berbagai organisasi pergerakan nasional, seperti Sarekat Islam (SI) dan Persatuan Umat Islam (PUI). Beliau menggalang persatuan umat Islam dan rakyat Tasikmalaya untuk melawan penjajahan Belanda. Beliau berceramah dan berkhutbah untuk membangkitkan semangat juang rakyat dan menentang kebijakan kolonial.

Saat penjajahan Jepang, K.H. Zainal Musthafa memimpin perlawanan rakyat Tasikmalaya melawan penjajah. Beliau menentang kebijakan Seikerei yang mewajibkan rakyat Indonesia untuk menyembah Kaisar Jepang. Pada tanggal 25 Februari 1943, beliau memimpin Peristiwa Singaparna, perlawanan rakyat bersenjata melawan Jepang. Meskipun gagal, perlawanan ini membangkitkan semangat juang rakyat dan menjadi simbol perlawanan di Jawa Barat. K.H. Zainal Musthafa adalah sosok pahlawan yang dedikasi dan pengorbanannya untuk kemerdekaan Indonesia di Tasikmalaya tidak ternilai. Beliau adalah pemimpin yang berani, inspiratif, dan visioner yang mengabdikan hidupnya untuk melawan penjajahan dan memperjuangkan kemerdekaan bangsa.

Keberanian dan kegigihan KH. Zainal Musthafa dalam melawan penjajah Jepang menjadikannya simbol perlawanan bagi rakyat Indonesia. Beliau dihormati dan disegani oleh banyak orang, pengorbanannya juga menginspirasi banyak orang untuk terus berjuang demi kemerdekaan. KH. Zainal Mustafa ditangkap oleh Jepang pada bulan September 1944 dan dipenjara di Penjara Banceuy, Bandung. Beliau disiksa dengan kejam, namun tetap teguh pendiriannya. Pada tanggal 25 Oktober 1944, beliau dihukum mati di Penjara Glodok, Jakarta. KH. Zainal Musthafa adalah pahlawan nasional Indonesia yang patut dikenang dan diteladani. Semangat juangnya dan pengorbanannya untuk bangsa patut diwariskan kepada generasi penerus.

KH. Zainal Musthafa seorang ulama kharismatik dan pahlawan nasional Indonesia yang memberikan pengaruh besar dalam perjuangan kemerdekaan di Tasikmalaya. KH. Zainal Musthafa melalui ceramah, khutbah, dan kepemimpinannya di Pesantren Sukamanah berhasil membangkitkan semangat nasionalisme dan perlawanan rakyat Tasikmalaya terhadap penjajah. KH. Zainal Musthafa memiliki pengaruh yang sangat besar sebagai tokoh pejuang di Tasikmalaya. Beliau bukan hanya seorang ulama yang disegani, tetapi juga pemimpin yang berani dan inspiratif. Semangat juangnya dan pengorbanannya untuk bangsa telah menginspirasi banyak orang di Tasikmalaya dan sekitarnya untuk melawan penjajah dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

KH. Zainal Musthafa menanamkan nilai-nilai patriotisme dan kemerdekaan kepada para santri dan masyarakat, mendorong mereka untuk melawan penindasan dan memperjuangkan hak-hak mereka. Keberanian dan kegigihannya dalam memimpin perlawanan menjadi inspirasi bagi banyak orang di Tasikmalaya. Beliau berhasil menyatukan umat Islam di Tasikmalaya untuk melawan penjajah. Persatuan ini menjadi kekuatan yang besar dalam perjuangan kemerdekaan, menunjukkan bahwa Islam tidak hanya agama, tetapi juga kekuatan pemersatu bangsa. KH. Zainal Musthafa bukan hanya seorang motivator, tetapi juga pemimpin yang berani dalam aksi. Beliau memimpin berbagai aksi perlawanan terhadap penjajah, seperti demonstrasi, pemogokan, dan sabotase. Keberanian, kegigihan, dan pengorbanan beliau menginspirasi generasi penerus untuk terus berjuang demi kemerdekaan dan keadilan. Beliau menjadi teladan bagi para pejuang kemerdekaan di seluruh Indonesia. K.H. Zainal Mustafa meninggalkan warisan yang abadi dalam bentuk semangat juang, nilai-nilai patriotisme, dan rasa persatuan. Beliau dikenang sebagai pahlawan nasional yang berjasa besar dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Semangat dan pemikiran beliau terus menginspirasi masyarakat Indonesia untuk membangun bangsa yang lebih baik.


Referensi

Tatang Hidayat dan Aam Abdussalam. KH. Zainal Musthafa’s Struggle in Developing the Nation’s Intellectual Life. Vol 23(2), Ulumuna, 2019, Hal. 332-360.

Laili Mardhatilah. Perlawanan KH Zainal Mustafa Terhadap Pemerintahan Pendudukan Militer Jepang Di Sukamanah Tahun 1944. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan: Universitas Lampung, 2019.

Ilma Fitriani. Nilai-Nilai Patriotisme Kh Zainal Musthafa 1927-1944. Program Studi Pendidikan Sejarah: Universitas Galuh, 2020.

PENGARUH KOLONIAL BELANDA TERHADAP PERKEMBANGAN PERS DI TASIKMALAYA JAWA BARAT TAHUN 1923-1942

Surat kabar atau media massa memiliki peran krusial dalam menyebarkan informasi kepada publik luas. Media ini juga menjadi wadah bagi individu untuk mengkomunikasikan ide dan pandangannya. Selain itu, hubungan media dengan politik sangatlah signifikan. Media massa memiliki kemampuan persuasif yang dapat membentuk pandangan umum serta mempengaruhi opini masyarakat terhadap isu-isu sosial dan politik yang sedang berkembang. Oleh karena itu, di Hindia Belanda juga terjadi hubungan yang erat antara pers dengan politik.

Kolonialisme dan imperialisme Belanda dapat memberikan pengaruh yang signifikan terhadap lahir, muncul, dan berkembangnya pers di Tasikmalaya, Jawa Barat pada kurun waktu 1923 hingga 1942. Tahun 1923 menjadi batasan awal temporal karena di tahun tersebut lahirnya pers milik Paguyuban Pasundan yaitu surat kabar Sipatahoenan, kemudian batas akhir dipilih tahun 1942 karena menjadi tahun terakhir penjajahan Belanda di Indonesia.

Awal tarikh abad ke-20 masehi adalah Enlightenment Era karena menjadi titik balik nasib bangsa Indonesia dengan lahirnya kebijakan Politik Etis sebagai awal mula gelombang liberalisasi dan revolusi demokrasi hadir di Hindia Belanda. Politik etis ini tujuan utamanya adalah meningkatkan kesejahteraan serta peningkatan kualitas pendidikan di Hindia Belanda, maka “edukasi” menjadi program utama dalam Politik Etis. Perubahan paling signifikan setelah adanya Politik Etis adalah melahirkan kelas sosial baru yaitu kaum Bumiputra yang terpelajar karena mendapatkan pendidikan ala Barat dari Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Kaum-kaum terpelajar ini memanfaatkan pers untuk menyuarakan perubahan sosial dan politik di Hindia Belanda, khususnya mendorong kemajuan bangsanya, kemerdekaan bangsanya dari belenggu penjajahan.

Kondisi yang terjadi di secara keseluruhan di Hindia Belanda pada kurun waktu 1900-an awal lebih banyak kaum-kaum Bumiputera terpelajar yang membangun organisasi politik dan mendirikan pers untuk menjadi corong dalam menyampaikan aspirasi kepada pemerintah kolonial. Begitu pula dengan apa yang terjadi di Tasikmalaya Jawa Barat mulai muncul banyak koran-koran lokal baik itu yang berbahasa Sunda maupun yang berbahasa Melayu atau Bahasa Indonesia.

Tabel daftar surat kabar yag terbit di Tasikmalaya pada tahun 1920-1930.

Tabel tersebut menerangkan bahwa terdapat 3 surat kabar yang terbit di Tasikmalaya pada kurun waktu 1920-1930 yaitu Sipatahoenan, Langlajang Domas, dan Pekabaran. Surat kabar Sipatahoenan dan Langlayung Domas merupakan surat kabar lokal berbahasa Sunda yang diterbitkan oleh Paguyuban Pasoendan. Paguyuban Pasoendan ini didirikan pada tahun 1914 sebagai wadah perjuangan rakyat Pasundan dengan alasan adanya keprihatinan atas kondisi orang Sunda yang tertinggal jauh oleh etnis lain seperti Jawa dan Melayu. Maka, dengan adanya surat kabar Sipatahoenan di Tasikmalaya ini menjadi wadah paling efektif untuk menyuarakan aspirasi orang-orang Sunda.

Sebenarnya sebelum lahirnya Sipatahoenan, Paguyuban Pasundan pernah menerbitkan majalah bernama Papaes Nonoman pada 1922 yang menjadi media untuk berbagai gagasan maupun pemberitahuan mengenai jalannya organisasi Paguyuban Pasundan. Namun, tidak lama setelah itu adanya kebijakan dari pemerintah kolonial untuk melarang berserikat dan berkumpul, sehingga berimbas pada terhambatnya perjuangan Paguyuban Pasundan. Setelah itu pengurus Paguyuban Pasundan dengan cepat merespon kebijakan pemerintah tersebut dengan mengadakan konferensi guna menerbitkan sebuah surat kabar, maka terciptalah Sipatahoenan pada 20 April 1923 di Tasikmalaya.

Tujuan utama diterbitkannya surat kabar Sipatahoenan bukan semata untuk mendapatkan keuntungan, melainkan karena kebutuhan untuk memiliki suatu wadah agar dapat menyebarluaskan gagasan dan memperbaiki pemikiran masyarakat Sunda kala itu. Melalui Koran Sipatahoenan ini juga lahirlah seorang jurnalis Sunda terkenal asal Tasikmalaya yaitu Sutisna Senjaya yang kini namanya diabadikan sebagai salah satu nama jalan utama di Tasikmalaya. Kiprah Sutisna Senjaya dalam koran Sipatahoenan inilah yang menjadi cikal bakal munculnya kesadaran masyarakat Tasikmalaya akan kemerdekaan Indonesia. Selain di Sipatahoenan, Sutisna Senjaya juga menjadi redaktur di beberapa surat kabar lokal seperti Koran Siliwangi (1921-1922), Langlajang Domas (1927-1928), majalah AlMawa’idz, dan majalah Kalawarta Kujang (1956).

Sebenarnya bukan hanya 3 surat kabar itu saja yang terbit di Tasikmalaya, tercatat dalam kurun waktu 1900-1942 surat kabar yang terbit di Tasikmalaya berjumlah sekitar 18 buah. 18 surat kabar tersebut ada yang menggunakan bahasa Sunda ada juga yang menggunakan bahasa Indonesia. Dalam kurun waktu yang sama juga, jumlah majalah yang terbit di Tasikmalaya sebanyak 66 buah. Maka, dengan demikian, Tasikmalaya telah menyumbangkan sekitar 27% kontribusi pers di Jawa Barat. Maka, tidak heran bahwa Tasikmalaya memegang peranan penting dalam pertumbuhan pers di Jawa Barat setelah kota Bandung. Selain itu, jumlah percetakan surat kabar dan majalah di Tasikmalaya juga tidak kalah hebatnya. Tercatat bahwa dari 18 surat kabar tersebut, 14 diantaranya dicetak di Tasikmalaya yaitu tepatnya di percetakan Galoenggoeng, Djoendjoenan, Soekapoera, dan Pemandangan.

Pemerintah kolonial Belanda sangat ketat dalam mengawasi tindak-tanduk pers milik kaum Bumiputera, karena pembahasan pers milik Bumiputera dominan membahas isu tentang kemerdekaan, kebangkitan nasional, kritik terhadap pemerintah, dan kebijakan yang tidak menguntungkan penduduk Bumiputera. Mereka tampil berani menentang pemerintah kolonial karena rata-rata pemimpin redaksinya berkedudukan sebagai anggota Volksraad (parlemen di Hindia Belanda), terutama Sutisna Senjaya yang memiliki perhatian cukup besar terhadap isu-isu politik, kadang juga yang dimuat acapkali hasil-hasil persidangan di Volksraad sehingga masyarakat di Tasikmalaya dapat mengikuti dinamika politik di Hindia Belanda secara aktual.

Lain halnya dengan surat kabar Pekabaran yang lebih bernuansa ekonomi, namun masih berhubungan dengan pergerakan nasional. Misalnya yaitu kebijakan ekonomi di Tatar Priangan yang tidak menguntungkan rakyat Bumiputera karena lebih mementingkan golongan Eropa dan Tionghoa. Ekonomi menjadi pokok pembicaraan utama dalam surat kabar ini karena dilandasi oleh keyakinan “memadjoekan oeroesan economie jang selaloe djadi soeal jang moela-moela dalem riwajat kemadjoeannja sesoeatoe negeri”.

Berdasarkan uraian ringkas di atas, terlihat jelas bahwa situasi politik yang terjadi pada masa kolonial Hindia Belanda sangat mempengaruhi perkembangan pers di Tasikmalaya pada kurun 1920-1942. Hal ini karena turut dipengaruhi oleh adanya kebijakan Politik Etis pada 1901 yang membawa semangat liberalisme dan demokrasi serta berdampak pada lahirnya kelas sosial baru yaitu kaum Bumiputera terpelajar yang membangun organisasi politik dan menerbitkan surat kabar sebagai media menyebarluaskan gagasan mereka. Di Jawa Barat khususnya di Tasikmalaya lahirlah organisasi Paguyuban Pasundan yang dilandasi oleh rasa keprihatinan atas kondisi orang Sunda yang tertinggal jauh oleh etnis lain seperti Jawa da Melayu. Kemudian berkembang membentuk surat kabar Sipatahoenan dan Langlajang Domas untuk memberikan kesadaran berkebangsaan untuk masyarakat Tatar Priangan pada waktu itu.


Referensi

Miftahul Habib Fachrurozi. Politik Etis dan Bangkitnya Kesadaran Baru Pers Bumiputra. Vol 2(1), Bihari, 2019, Hal. 13–25.

Falah, M. Pers Di Kota Tasikmalaya, 1900-1942. Vol 14(2), Sosiohumaniora, 2012, Hal. 116–131.

Ekajati, E. S. Kebangkitan Kembali Orang Sunda: Kasus Paguyuban Pasundan 1913-1918. Kiblat Buku Utama, 2004.

Liani, L. Rubrik Moerangkalih dalam Surat Kabar Sipatahoenan sebagai Sarana Edukasi pada Tahun 1935. Vol 4(1), Historia Madani, 2020.

Cecep Burdansyah. (2009). Buku, Surat Kabar, dan Masyarakat yang Merdeka. Galuhpurba. Com.

KONTRIBUSI PAGUYUBAN PASUNDAN DALAM PERKEMBANGAN PENDIDIKAN DI TASIKMALAYA TAHUN 1914-1942

Paguyuban Pasundan adalah sebuah organisasi etnis Sunda yang berdiri pada tahun 1914. Organisasi ini merupakan salah satu gerakan etnis yang tumbuh dari Jawa Barat dan masih aktif hingga saat ini. Keberadaan Paguyuban Pasundan mencerminkan kekuatan fondasi organisasi ini dan menunjukkan minat yang mendalam dari masyarakat Sunda terhadap perkembangan budaya dan pendidikan di wilayah mereka. Meski banyak organisasi pergerakan nasional lainnya telah bubar, Paguyuban Pasundan tetap bertahan dan terus berkontribusi terhadap pembangunan Indonesia di berbagai bidang.

Perjalanan panjang Paguyuban Pasundan dalam sejarah perjuangan bangsa Hindia Belanda dapat dibagi menjadi tiga fase utama. Fase pertama berlangsung selama masa penjajahan Belanda hingga tahun 1942, fase kedua selama masa penjajahan Jepang, dan fase ketiga pasca proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia hingga saat ini. Pada masa awal berdirinya, Hindia Belanda mengalami kekacauan pemerintahan akibat sistem otoriter, feodalistis, dan otokratis yang diterapkan oleh Belanda dan Jepang. Kondisi ini menimbulkan penderitaan yang mendalam bagi rakyat pribumi. Sebagai organisasi pergerakan nasional, Paguyuban Pasundan berperan aktif dalam memperjuangkan kemerdekaan Hindia Belanda, termasuk melalui gerakan di bidang pendidikan. Sebagai organisasi yang menyadari pentingnya pendidikan, Paguyuban Pasundan berfokus pada peningkatan pendidikan di wilayah Jawa Barat, khususnya Tasikmalaya. Sebelum tahun 1920, pendidikan di Tasikmalaya masih sangat terbatas, dengan hanya sedikit sekolah modern yang tersedia. Sebagian besar pendidikan yang ada berbentuk pelatihan kerajinan dan pendidikan agama. Menyikapi kenyataan ini, Paguyuban Pasundan mulai mendirikan sekolah-sekolah dan membangun Bale Pamoelang Pasoendan (BPP) di Tasikmalaya, yang kemudian menjadi populer di masyarakat karena kontribusi nya terhadap pendidikan. 

Pada masa penjajahan, Hindia Belanda mengalami keterbelakangan di bidang ekonomi, sosial, dan pendidikan. Eksploitasi yang dilakukan pemerintah Belanda menyebabkan penderitaan yang mendalam bagi rakyat pribumi. Kesadaran akan pentingnya pendidikan mulai berkembang seiring dengan munculnya kaum intelektual yang mendirikan organisasi-organisasi pergerakan, salah satunya adalah Paguyuban Pasundan. Sebelum penerapan politik etis, pendidikan di Tasikmalaya masih sangat terbatas, terutama pada pendidikan agama dan pelatihan kerajinan. Namun, dengan berdirinya Paguyuban Pasundan, pendidikan di Tasikmalaya mulai mengalami perbaikan. Paguyuban Pasundan Cabang Tasikmalaya berhasil mendirikan HIS Pasundan pada tahun 1922 dan beberapa sekolah lainnya, sehingga pendidikan di Tasikmalaya mulai berkembang pesat dibandingkan wilayah lain.

Pada awal abad ke-20, kesadaran akan keterbelakangan Hindia Belanda di berbagai bidang mulai tumbuh. Kesadaran ini diperkuat oleh penerapan politik etis, yang bertujuan memperbaiki kondisi rakyat pribumi. Namun, kebijakan pendidikan yang diterapkan pemerintah Belanda tidak merata dan diskriminatif, sehingga kaum intelektual pribumi yang telah mengenyam pendidikan modern mulai membentuk organisasi-organisasi pergerakan seperti Paguyuban Pasundan.

            Paguyuban Pasundan didirikan pada tahun 1914 oleh D.K Arwinata di Batavia. Organisasi ini bertahan hingga saat ini dan terus berperan dalam berbagai bidang, termasuk pendidikan. Pada masa awal pendiriannya, Paguyuban Pasundan aktif dalam mendirikan sekolah-sekolah di berbagai wilayah Jawa Barat, termasuk Tasikmalaya, sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan taraf pendidikan masyarakat Sunda. Paguyuban Pasundan tumbuh sejalan dengan kebijakan pemerintah kolonial yang mulai mendirikan sekolah-sekolah bergaya Barat bagi pribumi. Kontribusi Paguyuban Pasundan dalam bidang pendidikan sangat signifikan, khususnya dalam mendirikan sekolah-sekolah yang memberikan akses pendidikan modern bagi masyarakat pribumi di Tasikmalaya.   Paguyuban Pasundan memainkan peran penting dalam perkembangan pendidikan di Tasikmalaya selama periode 1914-1942. Dengan mendirikan sekolah-sekolah dan Bale Pamoelang Pasoendan (BPP), Paguyuban Pasundan berhasil meningkatkan akses pendidikan bagi masyarakat pribumi di Tasikmalaya, yang sebelumnya terbatas pada pendidikan agama dan pelatihan kerajinan. Kontribusi Paguyuban Pasundan dalam bidang pendidikan menjadi fondasi bagi perkembangan pendidikan modern di Tasikmalaya dan Jawa Barat secara keseluruhan.


Referensi

Ekadjati, E. S. Kebangkitan kembali orang Sunda: Kasus Paguyuban Pasundan 1913-1918. (Bandung: PT Kiblat Buku Utama, 1918).

PERAN RADEN ADIPATI ARIA WIRATANUNINGRAT DALAM PEMBANGUNAN KABUPATEN TASIKMALAYA TAHUN 1908-1937

Raden Adipati Aria Wiratanuningrat lahir dari keluarga kaya di Sukapura atau yang biasa disebut dengan keluarga menak. Menak adalah bangsawan, biasanya keturunan para pejabat kolonial yang memiliki gelar bangsawan dan kehormatan. Ciri-ciri Menak adalah biasanya mempunyai simbol kekuasaan, pewarisan jabatan, gaya hidup yang penuh tata krama, kekayaan melimpah dan sifat-sifat lainnya. Menak idaman setiap daerah berkaitan dengan sikap dan perilaku yang harus dimiliki oleh seorang menak, dalam keluarga Sukapura menak yang ideal adalah anak laki-laki yang memiliki kekuatan, keberanian dan juga bakat. Jika ia memiliki ketiga hal tersebut ia akan dihormati di kalangan bawahannya, konsep menak ideal menjadi tolak ukur dalam pemilihan pemimpin, bahkan seiring berkembangnya pendidikan dan bermunculan kelompok intelektual menak Sukapura sudah memiliki ketiga hal tersebut.

Raden Adipati Aria Wiratanuningrat lahir pada tanggal 19 Februari 1878 di Nagrang, kabupaten Taraju, Ia merupakan putra dari penguasa ke-13 Raden Aria Prawira Adiningrat dan istrinya Raden Ajoe Ratna Poer. Dari pihak ayah, Raden Adipati Aria Wiratanuningrat merupakan seorang cucu. Penguasa ke-12 Raden Adipati Wiradadaha (1875-1901) atau dikenal dengan Dalem Bogor yang tinggal di Karang Pucung. Dalem Bogor diberi gelar adipati dan terkenal karena sifatnya yang bijaksana, sabar dan adil. Beliau wafat pada tahun 1912 dan dimakamkan di Tanjungmalaya Manonjaya. Raden Adipati Aria Wiratanuningrat juga merupakan Cicit sang penguasa, yakni penguasa Wiradadaha VIII atau Raden Tumenggung Danuningrat yang wafat pada tahun 1844 dan dimakamkan di Manonjaya, Tanjungmalaya.

Peranan Raden Adipati Aria Wiratanuningrat dalam Pembangunan Kabupaten Tasikmalaya

Raden Adipati Aria Wiratanuningrat mengawali masa pemerintahannya dengan menjadi Bupati Sukapura. Di bawah manajemen Raden Adipati Aria Wiratanuningrat Kabupaten Sukapura mengalami kemajuan yang sangat pesat. Pembangunan di segala bidang sangat sukses sehingga mendapat respon positif dari pemerintah kolonial. Oleh karena itu, penguasa ini mendapat banyak penghormatan dari pemerintah kolonial dan dicintai oleh masyarakat Sukapura yang langsung mengalami kemajuan di berbagai bidang di bawah penguasanya. Melalui kiprah nya diketahui bahwa dalam pembangunan Tasikmalaya, Raden Adipati Aria Wiratanuningrat lebih berperan penting dalam kedudukannya sebagai bupati, karena pembangunan pusat kabupaten menjadi tanggung jawab bupati. Raden Adipati Aria Wiratanuningrat mampu memanfaatkan kebijakan pemerintah untuk kepentingan pemerintah kolonial dengan menyampaikan instruksi pemerintah kolonial kepada rakyat, namun Ia juga memperhatikan kepentingan dan kesejahteraan rakyatnya. Upaya penguasa Raden Adipati Aria Wiratanuningrat untuk memajukan kesejahteraan manusia khususnya di bidang agama, pendidikan, pembangunan fisik, transportasi, ekonomi, dan pertanian.

Salah satu layanan paling terkenal dari Raden Adipati Aria Wiratanuningrat adalah membuka rawa-rawa menjadi persawahan yang disebut ngabukbak Lakbok (pembukaan lahan di Kecamatan Lakbok, sekarang bagian Kabupaten Administratif Kota Banjar). Rawa Lakbok terdiri dari dua bagian yaitu Lakbok Utara dan Lakbok Selatan, Lakbok Utara luasnya sekitar 5.931 ha dan Lakbok Selatan luasnya 600 ha. Hingga tahun (1923), dataran bagian atas masih berupa rawa-rawa yang dipenuhi tanaman dan semak belukar dengan udara yang tidak sehat. Tujuan dari reklamasi lahan ini adalah untuk menghasilkan lahan yang awalnya tidak produktif sehingga menjadi penghasil padi yang potensial.

Sepuluh tahun kemudian, rawa yang tadinya hutan lebat dan tidak pernah dimasuki manusia, menjadi lahan pertanian dan bermunculan desa-desa di sekitar Lakbok Rawa. Desa-desa tersebut tergolong besar, antara lain Pataruman, Ciawitali, dan Sindangang. Sementara itu, kemajuan di sektor pertanian sangat signifikan. Raden Adipati Aria Wiratanuningrat berhasil membangun masyarakatnya ke arah yang lebih sejahtera sesuai potensi sumber daya alam dan sumber daya manusianya. Artinya, ia mempunyai kemampuan kepemimpinan dan manajemen baik sebagai pemimpin daerah maupun pemimpin adat.

Gaya Kepemimpinan Raden Adipati Aria Wiratanuningrat

Di bawah kepemimpinan penguasa Raden Adipati Aria Wiratanuningrat, falsafah manajemen dan kehidupan masyarakat Sunda mempunyai ciri dan corak tersendiri, sehingga menyimpang dari prinsip-prinsip hidup atau falsafah hidup dan manajemen dalam politiknya. Apa yang Ia suka meskipun kehidupannya masih sangat tradisional dan masih feodal, namun pemerintahan negara Raden Adipati Aria Wiratanuningrat tidak dilaksanakan dengan cara kekerasan atau paksaan, melainkan dilandasi oleh nilai-nilai budaya dan juga nilai-nilai agama yang menjadi landasan tata kelola pemerintahan yang baik. Kepemimpinan Raden Adipati Aria Wiratanuningrat mengawali babak sejarah baru. Kebijakan Belanda yang berpindah ke arah yang berbeda menyebabkan perubahan penting dalam masyarakat, munculnya identitas dan kesadaran organisasi, termasuk juga kepemimpinan para manajer.

Peralihan menuju era nasionalisme pada awal abad ke-20 melahirkan kepemimpinan baru Indonesia. Feodalisme mulai surut di kalangan tokoh masyarakat dan mulai terbentuknya masyarakat intelektual modern. Kepemimpinan para penguasa juga di Tasikmalaya mengalami perubahan yang signifikan setelah tahun 1920, tentu saja disusul dengan peran aktif penguasa Raden Adipati Aria Wiratanuningrat. Perubahan yang terjadi tentunya akan mempengaruhi kepemimpinan penguasa Raden Adipati Aria Wiratanuningrat, Ia dapat menjadi penguasa yang mampu beradaptasi dengan perubahan yang ada dan pemimpin yang mendorong masyarakat untuk ikut serta dalam perubahan tersebut.              Raden Adipati Aria Wiratanuningrat mampu mempertahankan kekuasaannya selama kurang lebih 30 tahun dan berhasil mendapat penghargaan dari pemerintah kolonial atas keberhasilannya pada masa pemerintahannya. Konsep pengelolaan Sunda yang digunakan penguasa Raden Adipati Aria Wiratanuningrat sejalan dengan gaya pemerintahan feodal yang demokratis. Gaya kepemimpinan bupati Raden Adipati Aria Wiratanuningrat yang feodal-demokratis cocok dengan konsep kepemimpinan Sunda atau parigeuing, karena di dalamnya memuat ciri-ciri dan perilaku seorang pemimpin dalam memimpin. Akhirnya dengan menggunakan gaya kepemimpinan tersebut Raden Adipati Aria Wiratanuningrat dapat menjadi pemimpin yang sukses membawa masyarakatnya menuju kepada kesejahteraan.


ORGANISASI FREEEMASONRY PADA MASA KOLONIAL DI TASIKMALAYA

Freemasonry adalah sebuah organisasi rahasia di Inggris dan sudah ada sejak 1717. Organisasi ini meluas hingga daratan Eropa yaitu Prancis hingga Belanda, yang diawali dengan berdirinya Loji Agung Nederland tahun 1756. Penyebaran Freemasonry di Nusantara sebagai akibat dari adanya kontak budaya Eropa yang dibawa oleh Belanda. Bukti nyata yang terlihat yaitu berdirinya Loji ‘La Fidele Sincerite’ dan ‘La Vertueuse’ pada tahun 1767-1769 di Batavia. Di abad ke-20, anggota Freemason sudah mulai berisikan kalangan elit bumiputera, mereka bergabung melalui propaganda yang dikeluarkan oleh organisasi tersebut.

Titik awal munculnya organisasi Freemasonry saat bergabungnya seorang wedana bernama Raden Somanah Soeria Di Redja dari distrik Tasikmalaya sekitar abad ke-20. Menurut dokumen Pemerintah Kolonial, Raden Somanah telah menjabat sejak tanggal 12 Agustus 1900. Distrik Tasikmalaya berada di bawah Afdeeling Soekapoera pada tahun 1902, wilayah Tasikmalaya berada di bawah yurisdiksi Afdeeling Soekapoera. Raden Somana bergabung pada 12 Januari 1901 di Loji St. Jan yang ada di Bandung. Loji sendiri merupakan tempat penerimaan anggota Freemason.

Organisasi Freemason kenyataannya bertentangan dengan aliran gereja sebab memuat unsur Gnostik dalam Injil Yohanes. Rudolf Bultmann, pakar Alkitab asal Jerman mengutarakan jika Injil Yohanes bukan berasal dari budaya Kristen, melainkan hasil modifikasi budaya Yohanes pembaptis. Bagi Freemason sendiri, Santo Yohanes sebagai lambang kebajikan tertinggi, akan tetapi, ajaran kebaikan ini malah dijadikan propaganda bagi para elit pribumi agar menerima kolonialisme dan tidak bermusuhan dengan bangsa Eropa.

Pada saat penerimaan anggota, A.M. yaitu pemuka ritual mengutarakan pidato yang mengarah kepada tugas mereka untuk menguasai pribumi. Kegiatan Freemasonry ini sejalan dengan pandangan Snouck Hurgronje yang mengkritik sikap pejabat kolonial terhadap Islam. Menurut Snouck, sikap pejabat Belanda yang menganggap ketaatan para bangsawan yang tidak minum alkohol serta beribadah secara sembunyi-sembunyi adalah keliru. Akibatnya, para bangsawan merasa terpaksa meninggalkan agama mereka, yang tidak menguntungkan bagi kolonialisme Belanda. Dalam bidang pendidikan, terjadi dikotomi antara kaum bangsawan dan abangan yang mendalami bahasa Sanskerta, Hinduisme, Jawa Kuno, sementara kaum santri lebih mendalami bahasa Arab. Sehingga, Snouck merancang kebijakan untuk mengajak para bangsawan supaya memihak Belanda dapat diterapkan lewat pendekatan Freemason yang mendorong mereka untuk menjadi anggota.

Menurut buku Tahunan Masonik Hindia 1922-1923, ditemukan surat yang menunjukkan adanya anggota Freemason Belanda di Tasikmalaya. Surat tersebut ditulis oleh Br. Eggink tahun 1881-1959. Isinya membahas mengenai kegiatan pertemuan yang meninjau urusan masonik dan kepentingan lokal yang diadakan setiap pekan ketiga dalam satu bulan. Tidak lama setelah terlibat dalam berbagai aktivitas Freemason, Eggink menjadi kepala Sekolah di Sekolah Netral di Yogyakarta pada tahun 1923-1925. Sekolah netral ini adalah institusi pendidikan yang didirikan Freemasonry. Dikatakan netral sebab sebagian besar sekolah dibangun berdasarkan aktivitas keagamaan seperti sekolah Misionaris, sekolah Zendin. Istilah ‘netral’ digunakan sebagai ungkapan pemikiran yang mencerminkan sekularisme Freemason yang condong menolak peran agama di kehidupan sosial, meskipun tidak di kehidupan pribadi. Ideologi ini disebar melalui pendidikan, seperti pendirian sekolah netral dan perpustakaan rakyat.

Informasi lain mengenai Freemasonry di Tasikmalaya mencatat bahwa pada tanggal 1 Juni 1938, Loji Agung Provinsial Hindia Belanda mendaftarkan seorang  kandidat baru. Pada bulan Mei 1938, Jacobus Johannes Adriaan Stam dari Tasikmalaya menjadi anggota Freemasonry pada usia 33 tahun. Stam, yang lahir di Ginneken pada 15 Januari 1904 sebagaimana tercatat dalam dokumen Geboorteregister 1904, bergabung dengan Freemasonry yang sangat menekankan pentingnya pendidikan. Stam sendiri adalah seorang Kepala Sekolah. Pada tahun 1939, seorang Freemason bernama P. W. Onnen berdomisili di Tasikmalaya, tinggal di Manondjajaweg no. 79. Ia merupakan administrator kelas 3.

Freemasonry mulai hadir di Tasikmalaya pada awal abad ke-20 dengan bergabungnya Raden Somanah Soeria Di Redja, seorang Wedana, pada 12 Januari 1901 di Loji Bandung. Penerimaan anggota ini merupakan bagian dari strategi Freemasonry untuk mempengaruhi elit bumiputera agar tidak memusuhi kaum Eropa dan menerima kolonialisme. Surat korespondensi dari Leonard Gerardus Eggink menegaskan peran Freemasonry dalam mempromosikan pendidikan netral yang sekular di Hindia Belanda. Sekolah netral didirikan sebagai upaya untuk mengimplementasikan ideologi sekularisme yang menolak peran agama dalam kehidupan sosial. Semua ini menggambarkan bagaimana Freemasonry berfungsi sebagai alat pengaruh sosial dan politik di Tasikmalaya selama masa kolonial, memadukan pendidikan dengan strategi politik untuk memperkuat dominasi kolonial Belanda.


Referensi

Faizal Arifin, Rahmat Mulya Nugraha, dan Taryadi. Sejarah Freemasonry di Tasikmalaya, 1902-1939. Vol 2(1), Jazirah: Jurnal Peradaban dan Kebudayaan,  2021, Hal. 1-16.