ORGANISASI FREEEMASONRY PADA MASA KOLONIAL DI TASIKMALAYA

Freemasonry adalah sebuah organisasi rahasia di Inggris dan sudah ada sejak 1717. Organisasi ini meluas hingga daratan Eropa yaitu Prancis hingga Belanda, yang diawali dengan berdirinya Loji Agung Nederland tahun 1756. Penyebaran Freemasonry di Nusantara sebagai akibat dari adanya kontak budaya Eropa yang dibawa oleh Belanda. Bukti nyata yang terlihat yaitu berdirinya Loji ‘La Fidele Sincerite’ dan ‘La Vertueuse’ pada tahun 1767-1769 di Batavia. Di abad ke-20, anggota Freemason sudah mulai berisikan kalangan elit bumiputera, mereka bergabung melalui propaganda yang dikeluarkan oleh organisasi tersebut.

Titik awal munculnya organisasi Freemasonry saat bergabungnya seorang wedana bernama Raden Somanah Soeria Di Redja dari distrik Tasikmalaya sekitar abad ke-20. Menurut dokumen Pemerintah Kolonial, Raden Somanah telah menjabat sejak tanggal 12 Agustus 1900. Distrik Tasikmalaya berada di bawah Afdeeling Soekapoera pada tahun 1902, wilayah Tasikmalaya berada di bawah yurisdiksi Afdeeling Soekapoera. Raden Somana bergabung pada 12 Januari 1901 di Loji St. Jan yang ada di Bandung. Loji sendiri merupakan tempat penerimaan anggota Freemason.

Organisasi Freemason kenyataannya bertentangan dengan aliran gereja sebab memuat unsur Gnostik dalam Injil Yohanes. Rudolf Bultmann, pakar Alkitab asal Jerman mengutarakan jika Injil Yohanes bukan berasal dari budaya Kristen, melainkan hasil modifikasi budaya Yohanes pembaptis. Bagi Freemason sendiri, Santo Yohanes sebagai lambang kebajikan tertinggi, akan tetapi, ajaran kebaikan ini malah dijadikan propaganda bagi para elit pribumi agar menerima kolonialisme dan tidak bermusuhan dengan bangsa Eropa.

Pada saat penerimaan anggota, A.M. yaitu pemuka ritual mengutarakan pidato yang mengarah kepada tugas mereka untuk menguasai pribumi. Kegiatan Freemasonry ini sejalan dengan pandangan Snouck Hurgronje yang mengkritik sikap pejabat kolonial terhadap Islam. Menurut Snouck, sikap pejabat Belanda yang menganggap ketaatan para bangsawan yang tidak minum alkohol serta beribadah secara sembunyi-sembunyi adalah keliru. Akibatnya, para bangsawan merasa terpaksa meninggalkan agama mereka, yang tidak menguntungkan bagi kolonialisme Belanda. Dalam bidang pendidikan, terjadi dikotomi antara kaum bangsawan dan abangan yang mendalami bahasa Sanskerta, Hinduisme, Jawa Kuno, sementara kaum santri lebih mendalami bahasa Arab. Sehingga, Snouck merancang kebijakan untuk mengajak para bangsawan supaya memihak Belanda dapat diterapkan lewat pendekatan Freemason yang mendorong mereka untuk menjadi anggota.

Menurut buku Tahunan Masonik Hindia 1922-1923, ditemukan surat yang menunjukkan adanya anggota Freemason Belanda di Tasikmalaya. Surat tersebut ditulis oleh Br. Eggink tahun 1881-1959. Isinya membahas mengenai kegiatan pertemuan yang meninjau urusan masonik dan kepentingan lokal yang diadakan setiap pekan ketiga dalam satu bulan. Tidak lama setelah terlibat dalam berbagai aktivitas Freemason, Eggink menjadi kepala Sekolah di Sekolah Netral di Yogyakarta pada tahun 1923-1925. Sekolah netral ini adalah institusi pendidikan yang didirikan Freemasonry. Dikatakan netral sebab sebagian besar sekolah dibangun berdasarkan aktivitas keagamaan seperti sekolah Misionaris, sekolah Zendin. Istilah ‘netral’ digunakan sebagai ungkapan pemikiran yang mencerminkan sekularisme Freemason yang condong menolak peran agama di kehidupan sosial, meskipun tidak di kehidupan pribadi. Ideologi ini disebar melalui pendidikan, seperti pendirian sekolah netral dan perpustakaan rakyat.

Informasi lain mengenai Freemasonry di Tasikmalaya mencatat bahwa pada tanggal 1 Juni 1938, Loji Agung Provinsial Hindia Belanda mendaftarkan seorang  kandidat baru. Pada bulan Mei 1938, Jacobus Johannes Adriaan Stam dari Tasikmalaya menjadi anggota Freemasonry pada usia 33 tahun. Stam, yang lahir di Ginneken pada 15 Januari 1904 sebagaimana tercatat dalam dokumen Geboorteregister 1904, bergabung dengan Freemasonry yang sangat menekankan pentingnya pendidikan. Stam sendiri adalah seorang Kepala Sekolah. Pada tahun 1939, seorang Freemason bernama P. W. Onnen berdomisili di Tasikmalaya, tinggal di Manondjajaweg no. 79. Ia merupakan administrator kelas 3.

Freemasonry mulai hadir di Tasikmalaya pada awal abad ke-20 dengan bergabungnya Raden Somanah Soeria Di Redja, seorang Wedana, pada 12 Januari 1901 di Loji Bandung. Penerimaan anggota ini merupakan bagian dari strategi Freemasonry untuk mempengaruhi elit bumiputera agar tidak memusuhi kaum Eropa dan menerima kolonialisme. Surat korespondensi dari Leonard Gerardus Eggink menegaskan peran Freemasonry dalam mempromosikan pendidikan netral yang sekular di Hindia Belanda. Sekolah netral didirikan sebagai upaya untuk mengimplementasikan ideologi sekularisme yang menolak peran agama dalam kehidupan sosial. Semua ini menggambarkan bagaimana Freemasonry berfungsi sebagai alat pengaruh sosial dan politik di Tasikmalaya selama masa kolonial, memadukan pendidikan dengan strategi politik untuk memperkuat dominasi kolonial Belanda.


Referensi

Faizal Arifin, Rahmat Mulya Nugraha, dan Taryadi. Sejarah Freemasonry di Tasikmalaya, 1902-1939. Vol 2(1), Jazirah: Jurnal Peradaban dan Kebudayaan,  2021, Hal. 1-16.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *