PERKEMBANGAN SISTEM PEMERINTAHAN TASIKMALAYA PADA MASA PEMERINTAHAN KOLONIAL BELANDA

Pemerintah Kolonial Belanda menguasai berbagai wilayah di Nusantara. Kehadirannya membawa banyak dampak yang dapat dilihat dari berbagai aspek. Salah satunya adalah dalam aspek politik atau pemerintahan. Selama menjajah, Belanda menggunakan sistem pemerintahan baru dan diterapkan di berbagai wilayah yang dikuasai nya, Salah satu wilayahnya adalah Tasikmalaya yang memiliki banyak peristiwa sejarah.

Tasikmalaya masuk ke dalam wilayah Priangan Timur yang secara geografis merupakan wilayah paling timur dari[1]. Wilayah Priangan menjadi sebuah wilayah yang diperebutkan oleh 3 kekuatan besar yaitu Mataram, Banten, dan VOC. VOC menjadi kekuatan terbesar yang akhirnya berhasil menguasai Priangan pada 19-20 Oktober 1677. Kemudian pada tahun 1799 tepatnya setelah VOC resmi dibubarkan, wilayah Priangan diambil alih kekuasaannya oleh Pemerintah Hindia Belanda. Priangan lalu menjadi salah satu wilayah Pemerintahan setingkat keresidenan.

Sebagai salah satu yang masuk dalam wilayah Priangan, Tasikmalaya tentu menjadi wilayah yang sempat diduduki dan dikuasi oleh Kolonial Belanda. Beberapa peristiwa bersejarah dalam rangka memperjuangkan kemerdekaan juga sempat dilakukan oleh masyarakat setempat. Bukan hanya itu, Tasikmalaya juga mendapatkan pengaruh dari kolonial Belanda dalam berbagai aspek baik, sosial, budaya, politik, dan lain sebagainya. Salah satu yang menarik adalah sistem pemerintahan yang diterapkan oleh pemerintah Hindia Belanda dalam bentuk afdeeling.

Pada tahun 1862, sistem afdeeling diperkenalkan oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai struktur pemerintahan Kabupaten Tasikmalaya pada saat itu. Secara administratif, afdeeling adalah wilayah administratif yang setingkat dengan kabupaten. Sedangkan, secara struktur pemerintahan, afdeeling terdiri dari beberapa onderafdeeling yang setingkat dengan kawedanan. Tujuan afdeeling ini adalah agar kekuasaan bupati dapat berkurang karena dalam keseharian nya pemerintahan di wilayah afdeeling ini dijalankan oleh oofd van plaastelijke bestuur atau setingkat dengan asisten residen yang juga didampingi oleh patih afdeeling. Patih memiliki tugas untuk menjadi koordinator dari para bawahan bupati lainnya di ibukota kabupaten.

Salah satu kabupaten di Priangan yang diterapkan sistem afdeeling adalah Kabupaten Sumedang. Berdasarkan sistem afdeeling, Kabupaten Sumedang dipecah mejadi dua afdeeling yaitu afdeeling Baloeboer op Noord Soemedang dan Afdeeling Galoenggoeng yang terletak sekitaran daerah Manonjaya, Ibu Kota Sukapura. Pembentukan afdeeling Geloenggoeng ini memberikan dampak bagi status Kota Tasikmalaya karena Kota Tasikmalaya tidak hanya berkedudukan sebagai hoofdplaats der distict tetapi juga menjadi hofplaats der afdeeling. Dengan itu, Kota Tasikmalaya tidak hanya menjadi tempat tinggal wedana, tetapi juga menjadi tempat tinggal asisten residen dan patih sebagai wakil bupati di daerahnya.

Pada tahun 1870 kembali terjadi perubahan wilayah pemerintahan. Pemerintah Belanda ingin menerapkan sistem pemerintahan langsung di wilayah Priangan karena dianggap kekuasaan bupati masih terlalu besar. Kebijakan baru ini dikenal dengan sebutan Reorganisasi Priangan. Dalam kebijakan ini, Preanger-Regentschappen dibagi menjadi 9 afdeeling termasuk salah satunya adalah Afdeeling Tasikmalaya. Meskipun secara administratif wilayah terjadi perubahan, namun kedudukan Kota Tasikmalaya sebagai pusat pemerintahan afdeeling Tasikmalaya tidak berubah. Identitas Tasikmalaya sebagai sebuah kota memiliki fungsi administratif, politik, serta ideologi yang semakin kuat.  Peningkatan status kota Tasikmalaya dari distrik menjadi afdeeling memperkuat fungsi ideologi nya. Fungsi administratif dapat berjalan dengan efektif karena kota Tasikmalaya memiliki peran sebagai pusat informasi serta pengambilan keputusan. Kota Tasikmalaya juga menjadi pusat konsentrasi kekuatan yang terlihat dalam berbagai bentuk kekuatan militer serta sistem perlindungan elite kota yang juga memperkuat fungsi politiknya.

Pada tahun 1901 pemerintah kolonial Belanda melakukan reorganisasi wilayah Priangan. Afdeeling Tasikmalaya dan Sukapura dihapus dan wilayahnya digabungkan dengan afdeeling Sukapura. Hal ini tertera pada keputusan Gubernur Jenderal Willem Rooseboom nomor 4 Tanggal 1 September 1901. Pusat kota Sukapura yang awalnya adalah Manonjaya kemudian diubah menjadi Kota Tasikmalaya yang ditandai dengan peletakan batu pertama untuk pembangunan pendopo yang letaknya sekitar 300 meter ke arah Timur Majid Agung Tasikmalaya. Pada tahun 1921 distrik Tasikmalaya dibagi menjadi tiga onderdistrik yang di dalamnya termasuk Tasikmalaya, Indihiang, dan Kawalu[2]. Kota Tasikmalaya juga ditetapkan menjadi ibu kota afdeeling Priangan Timur yang terdiri dari Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis sehingga sekitar tahun 1926 fungsi ideologi nya menguat. Dalam kurun waktu ini, residen memegang peran sebagai kepala pemerintahan afdeeling.

Pada tahun 1931 afdeeling Priangan Barat, Priangan Tengah, dan Priangan Timur dihapus oleh pemerintah kolonial Belanda dan digabungkan ke dalam afdeeling Priangan[3]. Pada tahun 1937, nama afdeeling kemudian diganti menjadi residentie yang dalam wilayah Priangan terdiri dari lima kabupaten yaitu Garut, Bandung, Sumedang, Tasikmalaya, dan Ciamis. Setelah kekuasaan Belanda berakhir pada tahun 1942 dan setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan Priangan menjadi salah satu keresidenan di wilayah Jawa Barat. Keresidenan Priangan ini terdiri dari 5 kabupaten yaitu Bandung, Garut, Sumedang, Tasikmalaya, dan Ciamis. Selain lima keresidenan, Priangan juga memiliki satu kota praja yaitu Bandung. Pada awalnya, wilayah keresidenan dipertahankan akan tetapi wilayah pemerintahan ini kemudian dihilangkan. Namun, hal tersebut tidak menghapus nama Priangan dalam memori masyarakat. Tasikmalaya sebagai salah satu dari Priangan pada intinya pernah menjadi bagian dari dinamika Kabupaten Sumedang sebelum pada akhirnya pada tahun 1901 menjadi bagian integral dari Kabupaten Sukapura yang selanjutnya berubah nama menjadi Kabupaten Tasikmalaya. Kota Tasikmalaya berkembang dari kota distrik menjadi kota kabupaten dan keresidenan. Pemerintah kolonial Belanda membawa pengaruhnya ke dalam sistem pemerintahan Tasikmalaya, dapat dilihat juga dari adanya perpindahan ibu kota Sukapura dari Manonjaya ke Kota Tasikmalaya.


Referensi

Miftahul Falah, Nina Herlina Lubis, Kunto Sofianto. Morfologi Kota-kota di Priangan Timur pada Abad XX–XXI; Studi Kasus Kota Garut, Ciamis, dan Tasikmalaya. 9(1), Patanjala, 2017,  Hal. 1-14.

Nina H. Lubis. Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942. Bandung: Pusat Informasi Kebudayaan Sunda, 2020.

Miftahul Falah. Pertumbuhan Kota Tasikmalaya (1920-1942) dari Kota Distrik Menjadi Kota Kabupaten. Vol 1 (2), Metahumaniora, 2009, Hal. 200-216.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *