Ilham Ramadhan
NPM 222171069
ilham.rama2073@gmail.com
Kabupaten Sukapura yang kemudian berganti nama menjadi Kabupaten Tasikmalaya merupakan sebuah wilayah yang berada di Priangan Timur dengan dikelilingi beberapa kabupaten dalam ruang lingkup kekuasaan Kerajaan Galuh dan Kebataraan Galunggung. Kabupaten Sukapura memiliki akar sejarah yang panjang, dimulai dari masa kebataraan dengan pusat pemerintahan di Galunggung pada abad ke VII hingga abad ke XII. Pada masa tersebut, raja baru dianggap sah apabila mendapatkan persetujuan Batara yang bertahta di Galunggung. Pengaruh kolonial Belanda sangat terasa dalam pembentukan dan perkembangan Kabupaten Sukapura, terutama dalam perubahan ibu kota, kebijakan administratif, dan perkembangan ekonomi di wilayah tersebut.
Belanda membentuk pemerintahan kolonial di wilayah-wilayah yang mereka kuasai, termasuk di Sukapura. Mereka memperkenalkan struktur pemerintahan yang berbeda dan mempengaruhi tata kelola administratif di daerah tersebut. Adapun dalam sistem pengelolaan sumber daya, Belanda menerapkan sistem tanam paksa seperti Preangerstelsel, di mana penduduk lokal diwajibkan untuk menanam tanaman komersial tertentu (seperti kopi) untuk kepentingan kolonial Belanda. Hal ini memengaruhi ekonomi dan sosial masyarakat setempat. Dalam mendukung mobilisasi dan pendistribusian hasil alam, Belanda juga melakukan pembangunan infrastruktur seperti jalan, bangunan publik, dan fasilitas lainnya yang mempengaruhi perkembangan wilayah Sukapura.
Pengaruh kolonial dalam membentuk Kabupaten Sukapura (yang kemudian menjadi Kabupaten Tasikmalaya) terutama terlihat dalam perubahan ibu kota dan kebijakan administratif yang diterapkan oleh pemerintah Kolonial Belanda. Pada masa pemerintahan Wiradadaha VIII, ibu kota Kabupaten Sukapura dipindahkan ke Manonjaya pada tahun 1832 sebagai inisiatif Belanda untuk memperkuat benteng-benteng dalam menghadapi perlawanan Diponegoro. Perpindahan ibu kota ini juga didorong oleh kepentingan ekonomi Belanda, dimana Galunggung yang subur menjadi penghasil nila dan kopi. Ibu kota dipindahkan ke Manonjaya karena posisinya dianggap kurang strategis untuk menjadi pusat pengumpulan hasil perkebunan yang ada di Galunggung.
Manonjaya dipilih sebagai ibu kota baru Sukapura karena daerah tersebut merupakan penghasil nila yang unggul sehingga dapat menutupi minus produksi kopi. Pada saat itu, pemerintah Hindia-Belanda tengah menjalankan Preangerstelsel, di mana setiap daerah harus menyerahkan hasil panen kopi kepada pemerintah Hindia-Belanda. Oleh karena itu, perpindahan ibu kota tersebut bertujuan untuk membudidayakan nila. Sebelumnya, Ibu kota Kabupaten berkedudukan di Pasirpanjang karena di Manonjaya perlu dilakukan pembangunan terlebih dahulu. Persiapan ini meliputi pembangunan infrastruktur dan fasilitas yang diperlukan untuk menjadikan Manonjaya sebagai ibu kota yang layak. Pembangunan kota Manonjaya dilakukan dengan jasa komandan pembangunan, yaitu Raden Tumenggung Danuningrat, adik dari Bupati Sukapura saat itu, Raden Tumenggung Wiradadaha VIII. Pembangunan ini termasuk pembangunan Masjid Agung Manonjaya pada tahun 1880.
Pemindahan ibu kota dilakukan pada tahun 1834 seiring dengan selesainya pembangunan kota Manonjaya. Proses ini melibatkan perubahan status Sukaraja dari ibu kota menjadi distrik di bawah control-afdeeling Mangunreja dan afdeeling Sukapurakolot yang pemerintahannya dipimpin oleh camat. Sementara Manonjaya menjadi ibu kota baru dengan dampak terjadinya mobilitas horizontal dan vertikal di masyarakat[3]. Pemindahan ibu kota mengakibatkan terjadinya mobilitas horizontal, yaitu datangnya orang-orang pemerintah Hindia-Belanda dan masyarakat dari luar daerah Manonjaya. Selain itu, terjadi juga mobilitas vertikal yang ditimbulkan oleh keberadaan pemerintah kolonial Hindia-Belanda sebagai penguasa, yang menciptakan pembagian kelas sosial yang terdiri dari beberapa golongan. Dampak pemindahan ibu kota juga terlihat dalam perubahan struktur sosial masyarakat Manonjaya. Terjadi pembagian kelas sosial yang melibatkan pemerintah kolonial Hindia- Belanda, bangsa Tiongkok, bangsawan pribumi, golongan agama, prajurit, dan rakyat jelata.
Penggunaan nama Tasikmalaya sebagai nama distrik bukan merupakan perubahan dari Distrik Tawang. Pada masa Raffles (1816), di wilayah Priangan terdapat sebuah distrik bernama Cicariang, yang kemudian berubah nama menjadi Distrikt Tasikmalaija op Tjitjariang. Pada akhir tahun 1930-an, nama distrik tersebut berubah lagi menjadi Distrikt Tasikmalaija. Perpindahan ibu kota ini juga melibatkan proses pembangunan dan persiapan sebelum akhirnya Manonjaya diresmikan sebagai ibu kota Kabupaten Sukapura pada tahun 1834. Dengan demikian, Kabupaten Sukapura (Kabupaten Tasikmalaya) memiliki sejarah yang beragam dan dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk kebataraan, kolonialisme Belanda, dan perubahan nama yang mencerminkan perkembangan wilayah tersebut.
Referensi
Emuch Hermansoemantri. Sajarah Sukapura: Sebuah Telaah Filologis. (Jakarta: UI, 1979).
Agus Budiman & Ryan Ardiansyah. Perpindahan Ibukota Kabupaten Sukapura dari Sukaraja Ke Manonjaya serta Dampaknya (1828-1834). 2(1), Jurnal Artefak, 2019, Hal. 77-86.