Silahkan bisa klik link berikut untuk dapat mengakses Artikel Ilmiah LOKH.
https://drive.google.com/drive/folders/1Tlg3b44PrjWHWRrAGqonutjTzyhneKJK
Silahkan bisa klik link berikut untuk dapat mengakses Artikel Ilmiah LOKH.
https://drive.google.com/drive/folders/1Tlg3b44PrjWHWRrAGqonutjTzyhneKJK
Pendopo Tasikmalaya merupakan salah satu saksi bisu perjalanan sejarah panjang yang tak terpisahkan dari masa kolonial Belanda di Indonesia. Sebagai salah satu bangunan administrasi yang dibangun pada masa kolonial, pendopo ini tidak hanya merepresentasikan simbol kekuasaan pemerintah kolonial, tetapi juga menjadi bagian integral dari perkembangan kota Tasikmalaya itu sendiri. Dalam konteks sejarah dan arsitektur, pendopo ini menyimpan jejak penting mengenai hubungan antara kolonialisme dan perkembangan tata kota di daerah Priangan Timur, termasuk Tasikmalaya.
Sejarah Pembangunan Pendopo Tasikmalaya
Pendopo merupakan bangunan khas yang umum dijumpai di Jawa. Pada masa kolonial Belanda, pendopo digunakan sebagai bangunan pemerintahan yang berfungsi untuk mendukung aktivitas administrasi dan sosial. Pendopo Tasikmalaya, yang dibangun pada awal abad ke-20, adalah salah satu contoh nyata dari pengaruh arsitektur kolonial dalam bentuk tradisional Jawa yang mengalami transformasi guna memenuhi kebutuhan kolonial.
Pendopo yang dibangun di daerah-daerah di Jawa pada masa kolonial sering kali memiliki dua fungsi utama. Pertama, sebagai pusat administrasi lokal yang dikendalikan oleh pejabat kolonial atau pribumi yang diangkat oleh pemerintah Belanda. Kedua, sebagai pusat sosial di mana acara-acara kenegaraan dan sosial, seperti pertemuan pejabat dan masyarakat, diselenggarakan. Pendopo Tasikmalaya juga berfungsi sebagai ruang interaksi antara pemerintah dan masyarakat lokal, mengintegrasikan nilai-nilai lokal dengan struktur pemerintahan kolonial.
Lebih lanjut, keberadaan pendopo di Tasikmalaya ini menunjukkan upaya pemerintah kolonial untuk menyelaraskan antara arsitektur tradisional Jawa dengan kebutuhan administrasi mereka. Di dalam konstruksi pendopo, terlihat perpaduan antara elemen arsitektur tradisional dengan inovasi kolonial yang menggabungkan keindahan estetika dan fungsionalitas.
Arsitektur Kolonial dan Nilai Simbolik Pendopo
Pendopo Tasikmalaya, seperti kebanyakan bangunan kolonial lainnya, dibangun dengan menggabungkan elemen-elemen arsitektur lokal dengan desain Eropa. Seperti dijelaskan oleh, arsitektur kolonial di Indonesia sering kali mencerminkan perpaduan budaya yang kompleks. Bangunan kolonial umumnya mengintegrasikan prinsip-prinsip arsitektur Eropa yang fungsional dan modern dengan estetika lokal yang lebih adaptif terhadap iklim tropis. Pendopo Tasikmalaya tidak terkecuali, menggabungkan struktur bangunan terbuka dengan atap joglo khas Jawa dan pondasi yang ditinggikan untuk menghindari masalah kelembaban, namun dengan penggunaan bahan-bahan yang diimpor dari Eropa, seperti kaca dan logam.
Selain dari segi arsitektural, pendopo juga memiliki nilai simbolik yang kuat. Bangunan kolonial, termasuk pendopo, sering kali digunakan sebagai simbol dominasi kolonial atas masyarakat pribumi. Di dalam konteks Tasikmalaya, pendopo ini berfungsi sebagai pusat kekuasaan yang mengatur administrasi daerah sekaligus menegaskan kekuasaan Belanda atas wilayah Priangan Timur. Hal ini terlihat dari tata letak pendopo yang berada di pusat kota, menandakan pentingnya peran bangunan tersebut dalam sistem pemerintahan kolonial.
Pengaruh Kolonial terhadap Perkembangan Kota Tasikmalaya
Pembangunan pendopo di Tasikmalaya tidak bisa dilepaskan dari upaya pemerintah kolonial dalam membangun infrastruktur kota yang mendukung kepentingan ekonomi dan politik mereka. Sebagaimana diungkapkan oleh Budiman (2019), pada masa kolonial, Tasikmalaya mengalami perkembangan pesat sebagai salah satu kota administrasi penting di wilayah Priangan Timur. Infrastruktur yang dibangun oleh Belanda, seperti jalan raya, kantor pemerintahan, dan pendopo, menjadi faktor penting dalam pertumbuhan kota. Pendopo Tasikmalaya menjadi salah satu pusat kegiatan yang melibatkan interaksi antara pemerintah kolonial dan masyarakat lokal.
Selain dari segi arsitektural, pendopo juga memiliki nilai simbolik yang kuat. Bangunan kolonial, termasuk pendopo, sering kali digunakan sebagai simbol dominasi kolonial atas masyarakat pribumi. Di dalam konteks Tasikmalaya, pendopo ini berfungsi sebagai pusat kekuasaan yang mengatur administrasi daerah sekaligus menegaskan kekuasaan Belanda atas wilayah Priangan Timur. Hal ini terlihat dari tata letak pendopo yang berada di pusat kota, menandakan pentingnya peran bangunan tersebut dalam sistem pemerintahan kolonial.
Pengaruh Kolonial terhadap Perkembangan Kota Tasikmalaya
Pembangunan pendopo di Tasikmalaya tidak bisa dilepaskan dari upaya pemerintah kolonial dalam membangun infrastruktur kota yang mendukung kepentingan ekonomi dan politik mereka. Sebagaimana diungkapkan oleh Budiman (2019), pada masa kolonial, Tasikmalaya mengalami perkembangan pesat sebagai salah satu kota administrasi penting di wilayah Priangan Timur. Infrastruktur yang dibangun oleh Belanda, seperti jalan raya, kantor pemerintahan, dan pendopo, menjadi faktor penting dalam pertumbuhan kota. Pendopo Tasikmalaya menjadi salah satu pusat kegiatan yang melibatkan interaksi antara pemerintah kolonial dan masyarakat lokal.
Namun, tidak hanya menjadi bagian dari struktur kolonial, pendopo ini juga menjadi cerminan perubahan sosial di Tasikmalaya. Setelah kemerdekaan Indonesia, fungsi pendopo tidak berubah secara drastis. Bangunan ini tetap digunakan sebagai pusat administrasi daerah dan tempat penyelenggaraan berbagai kegiatan resmi, termasuk perayaan Hari Kemerdekaan dan upacara adat lokal. Perubahan fungsi dari pendopo sebagai bangunan kolonial menjadi bangunan pemerintah Indonesia menunjukkan transformasi simbolik dari kekuasaan kolonial menuju kekuasaan nasional.
Hingga saat ini, Pendopo Tasikmalaya masih berdiri kokoh sebagai salah satu bangunan yang dilindungi oleh pemerintah setempat. Pemeliharaan bangunan ini menunjukkan kesadaran akan pentingnya warisan budaya dan sejarah bagi perkembangan kota. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Tasikmalaya, pendopo ini tidak hanya dilihat sebagai bangunan sejarah, tetapi juga sebagai pusat kegiatan sosial dan budaya.
Namun, meskipun bangunan ini terus dipertahankan, tantangan untuk menjaga keaslian arsitektur kolonial tetap ada. Modernisasi yang terjadi di sekitar pendopo membuat perubahan tata kota Tasikmalaya menjadi lebih dinamis. Keterbukaan terhadap perubahan yang adaptif tanpa merusak nilai historis bangunan menjadi perhatian utama dalam setiap upaya restorasi yang dilakukan. Pendopo Tasikmalaya adalah salah satu peninggalan kolonial yang hingga saat ini masih memainkan peran penting dalam kehidupan sosial dan pemerintahan di Tasikmalaya. Sebagai bangunan yang memiliki nilai historis dan simbolik, pendopo ini mencerminkan perpaduan antara arsitektur lokal dan kolonial serta menjadi bukti nyata dari perjalanan sejarah panjang yang dialami oleh Tasikmalaya. Selain menjadi simbol kekuasaan kolonial, pendopo ini juga menjadi saksi dari proses transformasi kota dari masa kolonial hingga era kemerdekaan. Pemeliharaan dan pelestarian Pendopo Tasikmalaya merupakan bentuk penghargaan terhadap warisan sejarah dan budaya yang perlu terus dijaga.
Syekh Abdul Muhyi merupakan salah satu ulama besar yang berperan penting dalam penyebaran Islam di Pamijahan, Tasikmalaya, melalui ajaran tasawuf. Lahir di Mataram, beliau memiliki garis keturunan dari Nabi Muhammad Saw melalui kedua orang tua nya. Syekh Abdul Muhyi memulai perjalanan intelektual nya di Gresik sebelum melanjutkan pendidikan agama di Aceh selama delapan tahun (1090-1098 M). Setelah itu, ia melanjutkan ke Baghdad untuk berziarah ke makam Syekh Abdul Qadir al-Jailani, lalu kembali ke Jawa dengan tujuan menyebarkan ajaran Islam.
Setibanya di Jawa Barat, Syekh Abdul Muhyi menyebarkan ajaran Islam di beberapa daerah seperti Darma Kuningan dan Pameungpeuk. Di Pamijahan, ia menghadapi berbagai tantangan, terutama dari kalangan dukun yang menolak ajaran baru ini. Namun, pendekatan tasawuf yang digunakan, yang mengakomodasi kepercayaan lokal, berhasil memenangkan hati masyarakat setempat.
Ajaran Tasawuf Martabat Kang Pitutu
Syekh Abdul Muhyi dikenal dengan ajaran Martabat Kang Pitutu, yang didasarkan pada konsep tasawuf Martabat Tujuh. Ajaran ini berfokus pada penyatuan manusia dengan Tuhan dalam kerangka Wahdatul Wujud. Martabat Tujuh merupakan ajaran sufi yang dipopulerkan oleh Muhammad Fadlullah al-Burhanpuri melalui kitab Al-Tuhfah al-Mursalah ila Ruhi an-Nabi. Konsep ini dikembangkan oleh ulama sufi di Aceh pada abad ke-17 dan diteruskan oleh Syekh Abdul Muhyi di Jawa Barat.
Ajaran Martabat Kang Pitutu terbagi menjadi tujuh alam: Ahadiyah, Wahdah, Wahidiyah, Arwah, Mistal, Ajsam, dan Jami’ah. Setiap alam ini menjelaskan tahapan penciptaan dan perjalanan spiritual manusia menuju kesempurnaan. Misalnya, Alam Ahadiyah adalah tingkat wujud tertinggi yang terbebas dari segala sifat dan ikatan duniawi, sedangkan Alam Jami’ah merupakan penyempurnaan dari seluruh ruh yang telah menjalani proses spiritual hingga mencapai Insan Kamil (manusia sempurna).
Peran Syekh Abdul Muhyi dalam Pergerakan Islam
Selain menyebarkan ajaran Martabat Kang Pitutu, Syekh Abdul Muhyi juga berperan penting dalam mengislamkan masyarakat Pamijahan. Ajaran sufisme yang ia bawa diterima dengan baik karena mengintegrasikan elemen-elemen budaya lokal, memudahkan penerimaan Islam oleh masyarakat yang sebelumnya memeluk agama Hindu atau kepercayaan lokal.
Islamisasi ini tidak hanya menyentuh aspek spiritual, tetapi juga menciptakan kesadaran kolektif untuk melawan ketidakadilan dan berjuang di jalan Allah.
Islamisasi di Pamijahan oleh Syekh Abdul Muhyi dalam Konteks Kolonial Belanda
Syekh Abdul Muhyi memainkan peran penting dalam penyebaran ajaran Islam di Tasikmalaya, khususnya di Pamijahan, di tengah-tengah kekuasaan kolonial Belanda. Pada abad ke-17, Belanda mulai memperkuat cengkeraman mereka di Pulau Jawa setelah mendirikan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) pada tahun 1602. Pada masa itu, Belanda terlibat dalam berbagai perjanjian politik dengan kerajaan-kerajaan lokal dan mengawasi perdagangan, sehingga membawa dampak besar terhadap kehidupan sosial dan ekonomi di wilayah tersebut.
Meskipun Belanda secara politik mengontrol sebagian besar wilayah Jawa, mereka masih menghadapi tantangan dalam mengendalikan wilayah pedalaman seperti Tasikmalaya. Pada saat itu, ajaran Islam dan tasawuf menjadi alternatif spiritual dan sosial yang menguat di masyarakat. Syekh Abdul Muhyi, dengan ajaran tasawuf nya yang dikenal sebagai Martabat Kang Pitutu, berhasil mendapatkan tempat di hati masyarakat karena pendekatannya yang inklusif dan damai, berbeda dengan pendekatan kolonial yang lebih represif.
Peran Syekh Abdul Muhyi dalam Membangun Kesadaran Melawan Kolonialisme
Islamisasi yang dilakukan oleh Syekh Abdul Muhyi tidak hanya fokus pada aspek spiritual, tetapi juga mendorong masyarakat untuk menyadari hak-hak mereka di bawah penjajahan. Pada masa itu, Tasikmalaya merupakan salah satu wilayah yang dilanda ketimpangan sosial akibat kebijakan ekonomi kolonial yang memaksa rakyat untuk mematuhi sistem tanam paksa dan pajak yang tinggi. Syekh Abdul Muhyi mengajarkan pentingnya persatuan dan keteguhan iman dalam menghadapi ketidakadilan, yang menjadi kekuatan pendorong bagi masyarakat lokal untuk melawan penindasan kolonial. Selain menyebarkan ajaran Islam, Syekh Abdul Muhyi juga memainkan peran penting dalam membangun jaringan sosial yang menghubungkan para pemimpin lokal dengan komunitas Muslim di wilayah lainnya. Jaringan ini, yang sebagian besar terhubung melalui kegiatan agama, membantu memperkuat solidaritas masyarakat dalam menghadapi pengaruh Kolonialisme Belanda.
Referensi
Iffan Ahmad Gufron, Mukhtasar Syamsuddin, dan Arqom Kuswanjono. Makna Martabat Pitu dalam Perspektif Filsafat. Perpustakaan UGM, 2017, Hal. 5-6.
Ajaran Martabat Tujuh pertama kali dipopulerkan oleh Muhammad Fadlullah al-Burhanpuri dan dikembangkan oleh Syekh Abdul Muhyi di Pamijahan. Lihat Ibid., hlm. 8.
Lebaksiuh sebuah desa kecil di kecamatan Culamega Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Jarang orang mengenal serta mengetahui bahwa daerah ini merupakan wilayah penting yang menopang pergerakan perjuangan mempertahankan kedaulatan bangsa Indonesia di tatar Pasundan. Minimnya catatan sejarah yang menulis tentang daerah ini menyebabkan beberapa informasi yang menjelaskan tentang peran penting Lebaksiuh sebagai ibu kota darurat yang digunakan pemerintah Jawa Barat pimpinan Sewaka dalam agresi militer Belanda pada tahun 1947-1948. Terbentuknya Wehrkreise III sebagai wilayah pertahanan Priangan Timur membawa dampak yang cukup besar dalam pertempuran gerilya melawan militer Belanda di Jawa Barat.
Wehrkreise III didirikan sebagai strategi untuk melawan gencarnya serangan militer Belanda di Jawa Barat. Terdiri dari kelompok-kelompok pertahanan yang terdiri dari berbagai lembaga perjuangan di wilayah tersebut. Masing-masing kelompok pertahanan mempunyai kemampuan untuk melakukan perang gerilya secara mandiri melawan kekuatan militer Belanda. Panglima Wehrkreise III tidak hanya membawahi lembaga perjuangan tetapi juga membawahi pemerintahan sipil di Jawa Barat. Struktur desentralisasi ini memungkinkan upaya perlawanan yang lebih efektif dan terkoordinasi terhadap militer Belanda. Kemampuan masing-masing kantong pertahanan untuk melakukan perang gerilya secara mandiri meningkatkan fleksibilitas dan kemampuan beradaptasi dari gerakan perlawanan. Dengan mendesentralisasikan struktur komando dan memberdayakan unit-unit lokal, Wehrkreise III meningkatkan ketahanan dan efektivitas pertempuran gerilya melawan pasukan Belanda di Jawa Barat.
Keputusan pemindahan pusat pemerintahan Jawa Barat ke Lebaksiuh pada tahun 1947-1948 terutama didorong oleh kebutuhan untuk menjamin kelangsungan pemerintahan republik dalam menghadapi agresi militer Belanda. Lebaksiuh dipilih sebagai kawasan yang relatif aman dan tidak terlalu rentan terhadap serangan Belanda, sehingga memungkinkan operasi pemerintahan tetap berjalan di tengah tantangan yang ada. Gubernur Sewaka menghadapi tantangan akibat agresi militer Belanda yang mengakibatkan seringnya terjadi relokasi operasional pemerintahan. Sewaka mendirikan “kantor ambulan” di mana tiga anggota staf menemaninya untuk memastikan pemerintahan yang berkelanjutan meskipun ada ancaman.
Menanggapi serangan Belanda, Sewaka berdiskusi dengan pimpinan militer mengenai strategi perang gerilya di Jawa Barat. Sewaka memindahkan pemerintahan ke berbagai tempat seperti Indihiang, Cikoneng, dan akhirnya ke Lebaksiuh karena meningkatnya aktivitas militer Belanda. Keputusan Sewaka pindah ke Lebaksiuh sangat strategis untuk menjamin kelangsungan pemerintahan republik di Jawa Barat. Meski menghadapi tantangan dalam berkomunikasi dengan daerah lain, khususnya Yogyakarta, Sewaka memanfaatkan taktik Wehrkreise untuk menjaga hubungan.
Masyarakat Lebaksiuh menunjukkan ketahanan yang kuat terhadap agresi Belanda, sehingga berkontribusi terhadap keberhasilan pertahanan wilayah tersebut selama revolusi. Atas dukungan penduduk setempat, Lebaksiuh menjadi ibu kota sementara Jawa Barat selama kurang lebih tujuh bulan pada tahun 1947-1948. Tokoh lokal seperti H. Abdul Hamid memberikan dukungan penting dengan menawarkan penginapan dan perbekalan bagi keluarga dan pengungsi Sewaka. Sewaka menyampaikan pidato yang mengajak rakyat untuk berani mempertahankan kemerdekaan dari serangan Belanda. Meskipun terdapat upaya untuk mempertahankan pemerintahan di Sukaraja, wilayah tersebut ditemukan oleh Belanda, sehingga menyebabkan serangan dan selanjutnya direlokasi ke Karangnunggal.
Lebaksiuh dipilih sebagai pusat pemerintahan Provinsi Jawa Barat pada tahun 1947-1948 karena keadaan khusus dan pertimbangan strategis. Tindakan agresif militer Belanda di Jawa Barat antara tahun 1947-1948 mendorong perlunya relokasi strategis. Gencarnya serangan militer Belanda mengharuskan perpindahan Gubernur Jawa Barat dan Panglima Wehrkreise dari Tasikmalaya ke Lebaksiuh. Lebaksiuh relatif dianggap sebagai daerah yang lebih aman dibandingkan daerah lain di Jawa Barat sehingga menjadi pilihan strategis untuk pusat pemerintahan. Pemilihan Lebaksiuh merupakan langkah proaktif untuk menjamin kelangsungan operasional pemerintahan republik di tengah ancaman militer Belanda. Keputusan pemindahan pusat pemerintahan ke Lebaksiuh terutama bertujuan untuk menjaga dan melestarikan kedudukan Provinsi Jawa Barat. Dengan merelokasi ke Lebaksiuh, Gubernur Jawa Barat mempunyai tujuan untuk mengamankan provinsi dan menegaskan kedaulatan Indonesia dari agresi militer Belanda. Pemerintahan Lebaksiuh berlangsung kurang lebih tujuh bulan, mulai Agustus 1947 hingga Februari 1948, yang menunjukkan keefektifan keputusan relokasi.
Referensi
Alex Anis Ahmad. Pembentukan Wilayah Pertahanan Priangan Timur Dan Perpindahan Ibukota Provinsi Jawa Barat Ke Lebaksiuh Tahun 1947-1948. Vol 1(2), Jasmerah, 2019, Hal. 14-22.
Nasi tutug oncom merupakan salah satu kuliner khas Tasikmalaya yang sudah menjadi budaya makan masyarakat Sunda sejak era 1940-an. Tutug oncom tidak hanya menawarkan cita rasa yang unik dan menggugah selera, tetapi juga menyimpan sejarah yang menarik serta nilai gizi yang tinggi.
Sejarah nasi tutug oncom sudah dikonsumsi masyarakat Sunda sejak sebelum kemerdekaan Indonesia. Pada era 1940-an, ketika Indonesia masih dijajah dan menghadapi krisis ekonomi yang berat, nasi tutug oncom hadir sebagai solusi pangan yang terjangkau bagi masyarakat Sunda menengah ke bawah. Hidangan ini menjadi bukti kreativitas masyarakat Sunda dalam menghadapi kesulitan ekonomi dengan memanfaatkan bahan-bahan sederhana yang tersedia.
Nama “tutug oncom” berasal dari bahasa Sunda. “Tutug” yang artinya tumbuk sebagai proses pengolahan oncom yang ditumbuk atau dihaluskan sebelum diolah dan dicampur dengan nasi. Sementara kata “oncom” merupakan bahan baku berupa produk fermentasi yang biasanya terbuat dari ampas kacang tanah, ampas tahu, ampas kedelai, atau ampas kelapa. Kombinasi nasi dengan oncom yang ditumbuk ini menciptakan rasa yang khas dan unik, sehingga nasi tutug oncom ini digemari oleh masyarakat Sunda.
Nasi tutug oncom merupakan perpaduan nasi putih yang telah dimasak yang dicampurkan dengan oncom, oncom yang digunakan telah disangrai hingga kering kemudian ditumbuk dan dihaluskan. Perpaduan kedua bahan ini menciptakan tekstur dan rasa yang khas.
Penyajian nasi tutug oncom akan semakin lezat dengan ditambahkan sambal dan lalapan sayur segar. Kombinasi ini tidak hanya menambah cita rasa, tetapi juga meningkatkan nilai gizi pada tutug oncom. Lauk-pauk tambahan seperti ikan asin, tempe goreng, atau ayam goreng juga cocok menjadi pelengkap hidangan.
Nasi tutug oncom paling nikmat disantap selagi hangat. Kondisi nasi yang hangat akan memberikan aroma khas oncom yang menggugah selera. Tekstur nasi yang lembut dipadukan dengan oncom yang sedikit kasar memberikan sensasi yang unik di mulut.
Meskipun terbuat dari bahan-bahan yang sederhana, nasi tutug oncom memiliki kandungan gizi yang tinggi. Oncom yang terbuat dari hasil fermentasi yang mengandung protein tinggi dan rendah lemak yang menjadikannya pilihan yang baik untuk menjaga asupan protein dengan lemak yang rendah.
Oncom mengandung genistein, genistein merupakan senyawa isoflavon yang berfungsi sebagai antioksidan yang kuat bagi tubuh. Penelitian menunjukkan bahwa genistein berpotensi mengurangi risiko kanker. Antioksidan ini melindungi sel-sel tubuh dari kerusakan akibat radikal bebas yang dapat memicu pertumbuhan sel kanker.
Selain protein dan antioksidan, oncom juga mengandung mineral penting seperti kalium, fosfor, dan zat besi. Kalium berperan penting dalam menjaga kesehatan jantung dan tekanan darah, fosfor penting untuk kesehatan tulang dan gigi, sementara zat besi sangat diperlukan untuk produksi sel darah merah dan pencegahan anemia.
Kombinasi nasi dengan oncom juga menciptakan perpaduan karbohidrat yang kompleks. Karbohidrat yang terkandung pada nasi menghasilkan energi bagi tubuh, sementara serat dari oncom membantu memperlambat penyerapan gula darah, menciptakan rasa kenyang yang lebih lama. Sehingga nasi tutug oncom cocok untuk mengendalikan nafsu makan dan membantu berat badan supaya lebih ideal.
Nasi tutug oncom merupakan salah satu cerminan kearifan lokal masyarakat Sunda. Kemampuan untuk mengolah bahan-bahan sederhana menjadi makanan yang lezat dan bergizi menunjukkan kreativitas dan kemampuan adaptasi masyarakat Sunda dalam menghadapi tantangan ekonomi.
Nasi tutug oncom berkembang dari zaman ke zaman sampai saat ini dan menjadi ikon kuliner Kota Tasikmalaya bahkan Provinsi Jawa Barat secara umum. Nasi tutug oncom tidak hanya populer di kalangan masyarakat lokal, tetapi juga menarik minat wisatawan yang ingin mencicipi autentisitas kuliner Sunda. Banyak rumah makan yang menjadikan nasi tutug oncom ini sebagai menu andalan, hal ini juga membantu kelestarian warisan kuliner ini sekaligus mendukung ekonomi lokal.
Meskipun memiliki sejarah panjang dan nilai gizi yang tinggi, nasi tutug oncom menghadapi tantangan dalam era modern. Perubahan gaya hidup dan preferensi makanan, terutama di kalangan generasi muda, dapat mengancam keberlanjutan kuliner tradisional ini. Diperlukan upaya kreatif untuk memperkenalkan nasi tutug oncom kepada generasi saat ini, salah satunya dengan presentasi yang lebih modern atau fusion dengan elemen kuliner kekinian, tanpa menghilangkan esensi dan nilai tradisional nya.
Di sisi lain, tren kembali ke makanan tradisional dan kesadaran akan pentingnya konsumsi makanan lokal yang sehat membuka peluang baru bagi nasi tutug oncom. Dengan kandungan gizi yang baik dan makanan yang ramah lingkungan (mengingat penggunaan bahan-bahan lokal dan proses fermentasi yang berkelanjutan), nasi tutug oncom memiliki potensi untuk diposisikan sebagai pilihan makanan sehat dan berkelanjutan.
Nasi tutug oncom lebih dari sekadar hidangan makanan, tutug oncom juga merupakan warisan kuliner yang mempunyai sejarah, kreativitas, dan kearifan lokal masyarakat Sunda. Dari asal-usulnya sebagai makanan sederhana di masa sulit hingga statusnya saat ini sebagai ikon kuliner Tasikmalaya. Nasi tutug oncom telah membuktikan daya tahannya terhadap perubahan zaman. Dengan nilai gizi yang tinggi dan cita rasa yang khas, hidangan ini tidak hanya memberikan rasa yang lezat tetapi juga memberikan manfaat kesehatan. Melestarikan dan mengembangkan nasi tutug oncom bukan hanya tentang mempertahankan tradisi, tetapi juga tentang menghargai kekayaan kuliner Indonesia dan potensinya dalam menyediakan pilihan makanan yang sehat dan berkelanjutan bagi generasi mendatang.
Referensi
Asjun, “Tutug Oncom dan Kekayaan Nilai yang Dikandungnya,” Satu guru, mengajar itu menyenangkan, 1 Oktober 2023. https://satuguru.id/ragam/ragam-budaya/tutug-oncom-dan-kekayaan-nilai-yang-dikandungnya/
Dheni Harmaen, Keberagaman dan Kearifan Lokal dalam Komunikasi Budaya Jawa Barat. Vol 3 (2), Linimasa: Jurnal Ilmu Komunikasi, 2020, Hal. 69.
Muammar Fawwaz, Ayu Natalisnawatı, dan Muzakkır. Kadar Isoflavon Aglikon pada Ekstrak Susu Kedelai dan Tempe. Vol 6(3), Industria: Jurnal Teknologi dan Manajemen Agroindustri, 2017.
Admin. Oncom, Produk Samping (By-Products) dengan Kadar Gizi Tinggi. Diakses pada 7 November 2018. Dari https://kanalpengetahuan.tp.ugm.ac.id/menara-ilmu/2018/1335-oncom-produk-samping-by-products-dengan-kadar-gizi-tinggi.html